Senin, 06 Juni 2011

ASUHAN KEPERAWATAN


A. Konsep Dasar Medis
1) Definisi
Angina Pektoris merupakan nyeri dada sementara atau perasaan tertekan ( kontriksi ) didaerah jantung. ( Brenda Walters. 2003 ).
Angina Pektoris adalah nyeri dada yang disebabkan oleh tidak adekuatnya aliran oksigen terhadap miokardium. ( Maryllin E. Doengoes. 2002 Hal 73 ).
Angina Pektoris merupakan suatu penyakit berbahaya yang timbul karena penyempitan arteri yang menyalurkan darah ke otot-otot jantung. ( Dr.John F.Knight. 1997 ).
2) Anatomi fisiologi
Jantung adalah organ berongga, berotot yang terletak di tengah thoraks dan menempati rongga antara kedua paru yang disebut mediastinum. Fungsi jantung adalah memompa darah ke jaringan, mensuplai O2 dan nutrisi sambil mengangkut CO2 dan sampah hasil metabolisme. Terdapat dua pompa jantung yang terletak di sebelah kiri dan kanan, keluaran jantung kanan didistribusikan seluruhnya ke paru-paru melalui arteri. Kerja pompa jantung dijalankan oleh kontraktilitas relaksasi ritmik dinding otot. Kontraksi otot disebut sistolik, kamar jantung menjadi lebih kecil karena darah disemburkan keluar. Relaksasi otot jantung disebut diastolik kamar jantung akan terisi darah sebagai persiapan untuk penyemburan berikutnya.
Jantung terbungkus dalam kantung fibrosa tipis yang disebut perikardium. Lapisan luar disebut pericardium parietalis dan lapisan dalam disebut pericardium viceralis yang langsung melekat pada permukaan jantung. Kedua pericardium dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas yang berfungsi mengurangi gesekan selama kontraksi jantung. Jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu :
• Lapisan luar : epikardium.
• Lapisan tengah : miokardium, merupakan lapisan otot.
• Lapisan dalam : endokardium.
Impuls jantung dimulai dan berasal dari Nodus Sinatrialis (SA) yang berada di dinding posterior atrium kanan dekat muara vena kava superior. SA Node menghasilkan denyut jantung 60-100 x dalam 1 menit. Kemudian dihantarkan ke AV Node yang berada di atrium kanan dekat muara sinus coronaria. Jalur AV merupakan transmisi impuls atrium dan ventrikel. Penahanan yang terlalu lama atau gagalnya transmisi impuls pada AV Node dikenal sebagai blok jantung. Dari AV, impuls jantung dihantarkan ke berkas his/bundel his yang membelah menjadi cabang kiri dan kanan kemudian di serabut purkinje yang menyebar keseluruhan permukaan dalam ventrikel otot jantung dan akan mengkontraksi jantung. Serabut purkinje juga menghasilkan impuls 20-40 x/menit.
Sirkulasi Peredaran Darah
Darah yang berasal dari vena cava superior dan inferior masuk atrium kanan kemudian ke ventrikel kanan lalu menuju paru-paru melalui arteria pulmonalis. Di paru-paru terjadi difusi CO2 dan O2. Darah yang banyak mengandung O2 keluar melalui vena pulmonalis ke atrium kiri melewati katub bikuspidalis ke ventrikel kiri dan akhirnya dipompa ke seluruh tubuh melalui arcus aorta kemudian melewati pembuluh darah, arteriola, kapiler (di sini terjadi difusi nutrisi dan metabolik jaringan), venula, vena kemudian kembali lagi dengan membawa CO2 ke atrium kanan melalui vena cava superior-inferior.
Ventrikel kiri dan kanan sewaktu diastole akan menghisap darah dari atrium kiri dan kanan melalui katub trikuspidalis dan mitral untuk dilewati darah. Setelah pengisian darah penuh di ventrikel akan berkontraksi maka katup bikuspidalis dan mitral tertutup. Keadaan ini disebut sistolik. Tertutupnya katub trikuspidalis dan mitral menghasilkan bunyi jantung I sedangkan tertutupnya katub aorta dan pulmonal menghasilkan bunyi jantung II. Curah jantung (cardiac output) adalah sejumlah darah yang dipompa jantung ke seluruh tubuh tiap menit. Besarnya curah jantung berubah tergantung dari kebutuhan metabolisme tubuh. Curah jantung (CO) sebanding dengan volume sekuncup (SV) kali frekuensi jantung (HR).
CO = SV x HR.
Pengaturan Denyut Jantung
Frekuensi jantung sebagian besar berada di bawah pengaturan system saraf otonom yaitu serabut parasimpatis mempersarafi node SA dan AV, mempengaruhi kecepatan dan frekuensi jantung sedangkan simpatis akan memperkuat denyut jantung.
Pengaturan Volume Sekuncup
Volume sekuncup tergantung dari tiga variabel :
- Preload yaitu peningkatan volume terakhir yang meningkatkan kekuatan kontraksi pada saat sistolik.
- Kontraktilitas yaitu kekuatan kontraksi dari jantung.
- After load yaitu besarnya tegangan yang dihasilkan oleh ventrikel selama fase systole agar mampu membuka katub semilunaris dan memompa darah keluar.
Ruang jantung terdiri atas empat ruang, dua ruang bagian atas disebut atrium, dua ruang di bagian bawah disebut ventrikel. Dinding yang memisahkan ruang kanan dan kiri disebut septum.
- Atrium kanan
Berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah, yang juga sebagai pengatur darah dari vena-vena sirkulasi sistemik ke dalam ventrikel kanan kemudian ke paru-paru. Darah yang berasal dari pembuluh vena masuk atrium kanan melalui vena cava inferior dan superior dan sinus coronarius.
- Ventrikel kanan
Menghasilkan kontraksi tekanan darah yang cukup untuk memompa darah ke dalam arteri pulmonalis.
- Atrium kiri
Menerima darah yang sudah dioksigenisasi dari paru-paru melalui vena pulmonalis. Darah mengalir dari atrium kiri ke dalam ventrikel kiri melalui katub mitralis.
- Ventrikel kiri
Ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang cukup tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sistemik dan mempertahankan aliran darah ke jaringan-jaringan perifer, sekat pembatas kedua ventrikel disebut septum interventrikularis.
Katub Jantung
Katub jantung memungkinkan darah mengalir hanya satu arah ke dalam jantung. Ada dua katub yaitu :
- Atrioventrikularis
Memisahkan antara atrium dan ventrikel. Terdapat dua jenis yaitu katub trikuspidalis dan mitralis/bikuspidalis. Katub trikuspidalis memisahkan atrium kiri dan ventrikel kiri.
- Semilunaris
Katub semilunaris terletak di antara tiap ventrikel dan arteri yang bersangkutan. Katub antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis disebut katub pulmonalis. Katub antara ventrikel kiri dan aorta disebut katub aorta.
3) Etiologi
- Penyakit arteri koroner ( CAD ) : gagal jantung konghesif ( CHF ), spasme arteri koroner dipacu oleh latihan, stress, pemajanan terhadap dingin.
- Perokok dan pengkomsumsi Alkohol.
- Makanan yang banyak mengandung serat lemak dan gula.
- Factor genetic ( herediter ).
4) Patofisiologi
Denyut jantung sangat penting, karena apabila ada rangsangan pada bagian tubuh. Dengan demikian arus listrik sebagai pembuka jalan akan menimbulkan kontraksi yang mana akan terjadi denyutan jantung. Hal ini berjalan terus dengan irama yang teratur tanpa berhenti, menurut kecepatan yang disebut tadi, pada umumnya 70x/mnt.
Tetapi jantung selalu pompa, mempunyai 4 ruang sendiri. Yang masing-masing mempunyai peran penting. Karena darah itu dipompakan bukan hanya kepada satu peredaran, melainkan kepada dua peredaran yang sama sekali berbeda.
Yang besar adalah peredararan umum, mengalirkan darah keseluruh bagian tubuh, tetapi setelah tiba diujung perjalanannya darah itu kembali ke sumber semula, perjalanan ini lebih pendek dan melintasi paru-paru yang melintasi komponen darah itu.
Juantung ada dua yaitu jantung sebelah kiri dan jantung sebelah kanan yang masing-masing mempunyai dua ruang, ruang sebelah atas yang disebut atrium ( serambi ), dan bawah ruang sebelah yang disebut ventrikel ( bilik ) masing-masing ruang ini dihubungkan dengan system peredarannya sendiri.satu seri katup yang sederhana namun efisien mengatur perjalanan darah itu sehingga mengalir dengan bebas diantara pembuluh darah, pembuluh yang pada masing-masing ruangan.
Darah dikirim ke atrium disebelah kanan melelui pembuluh-pembuluh utama yang disebut vena ( vene cava ) ini adalah darah yang telah dikumpulkan dari seluruh tubuh pada saat itu, lalu dilimpahkan ke atrium ( serambi )
Pada denyutan jantung yang berikutnya, jantung berkontraksi, lalu darah yang ada di atrium dilimpahkan ke ventrikel. Disebelah kanan ketika katup penghubung itu terbuka. Ketika ventrikel sebelah kanan mengempis, darah besar yan menyalurkan ke jantung
Tanda dan Gejala
- Rasa nyeri didada sebelah kiri dan menjalar kebahu, lengan kiri dan punggung
- Shock ( pusing, lemah, berkeringat, muntah-muntah, pingsan dan pucat )
- Sesak nafas
- Denyut jantung tidak teratur.
5) Test Diagnostik
• EKG : keadan Istirahat EKG normal pada 25 % pasien angina pectoris
• Fhoto Thorax : biasanya normal, namun infiltrate mungkin ada menunjukan dekompesasi jantung atau paru-paru
• Angiografi koroner : cara yang paling akurat, untuk unutk menentukan beratnya penyakit koroner, dilakukan pada penderita angina stabil yang kronik.
• Test Lab : SGOT, SGPT, LDH, CKMB : tidak ada penyimpangan ( normal )
• Kadar lipid, trigliserid dan kolesterol : mungkin meningkat
• Pembedahan bypass modern
• Treadmill
o Kontra Indikasi : pada pasien usia lanjut, penderita cacat, penderita denga sakit lama .
o Indikasi : untuk diagnostic Angina dengan memprovakasi kelaianan iskemia dan nyeri dada
7) Penatalaksaan Medik
• Meningkatkan suplai O¬2 ke miocard
• Menghilangkan nyeri dada
• Istirahat
• Hilangkan atau kurangi emosi
• Uji latihan beban / treadmill test
• Pemeriksaan EKG dan rekam jantung
• Diet :
- Kendalikan kalori sesuai dengan berat badan yang ideal
- Diet meliputi : karbohidrat (terutama yang majemuk ): 50% dari kaloro harian, protein : 20% dari kalori harian, dan lemak ( kebanyakan nabati ) : 30 % dari kalori harian
- Hindari makanan asin
8)Komplikasi
- Oisritmia / aritmia
- Miocard infark
- Syok cardiogenik
- Dekompensatio cordis
- Insfisiensi koroner
A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Riwayat hipertensi dan penyakit paru.
- Riwayat anemia.
- Riwayat penyakit katub jantung, bedah jantung dan endokarditis.
b. Pola nutrisi metabolik
- Mual, muntah, anoreksia.
- Penambahan berat badan signifikan
- Edema, asites
- Makan makanan yang tinggi garam, lemak, gula dan kafein.
- Penggunaan obat diuretik.
c. Pola eliminasi
- Nokturia (berkemih pada malam hari)
- Penurunan berkemih, urine berwarna gelap
- Diare, konstipasi.
d. Pola latihan dan aktivitas
- Kelelahan terus menerus sepanjang hari.
- Gelisah
- Dyspnea
- Edema pada ekstremitas bawah.
- Batuk, nyeri dada pada saat aktivitas.
e. Pola tidur dan istirahat
- Insomnia
- Tidur menggunakan 2-3 bantal.
f. Pola persepsi dan kognitif
- Cemas
- Stres yang berhubungan dengan penyakit
- Kemampuan pasien mengatasi penyebab penyakit.
g. Pola hubungan dan peran dengan sesama
- Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
h. Pola reproduksi dan seksualitas
- Penurunan aktivitas seksualitas, penurunan libido dan impoten/ disfungsi orgasme sehubungan dengan kelelahan/beta blocker yang sering membuat penurunan sex.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b/d perubahan kontraktilitas miokard, perubahan frekuensi, irama, konduksi dan listrik jantung.
b. Intoleransi aktivitas b/d penurunan curah jantung.
c. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan.
d. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan curah jantung, retensi cairan.
e. Penurunan perfusi jaringan b/d penurunan cardiac output.
f. Resti kerusakan integritas kulit b/d penurunan perfusi jaringan, tirah baring lama.
g. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, aktivitas, diit dan pengobatan b/d kurang informasi.
3. Perencanaan Keperawatan
DP 1. Penurunan curah jantung b/d perubahan kontraktilitas miokard, perubahan frekuensi, irama, konduksi dan listrik jantung.
HYD: Menunjukkan TTV dalam batas normal, tidak terjadi angina, dyspnea, tidak ditemukan gejala gagal jantung.
Intervensi :
1) Kaji frekuensi dan irama jantung.
R/ Biasa terjadi takikardia untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas miokard.
2) Catat bunyi jantung tambahan.
R/ Bunyi tambahan menunjukkan lemahnya kerja jantung.
3) Pantau nadi perifer, TD
R/ Penurunan nadi dan TD menunjukkan penurunan curah jantung.
4) Kaji kulit terhadap pucat dan cyanosis.
R/ Menunjukkan menurunnya perfusi perifer sekunder karena tidak adekuatnya curah jantung.
5) Kaji terhadap penurunan kesadaran.
R/ Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral.
6) Pantau dan catat keluaran urine.
R/ Ginjal berespon terhadap penurunan curah jantung dengan menahan air dan natrium.
7) Anjurkan istirahat cukup.
R/ Memperbaiki efisiensi kontraktilitas jantung dan menurunnya kebutuhan O2.
8)Kolaborasi dan dokter untuk pemberian obat (diuretik, vasodilator, captopril, morfin sulfat dan tranquilizer/sedatif).
R/ Banyaknya obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
DP 2. Intoleransi aktivitas b/d penurunan curah jantung.
HYD: Klien dapat berinteraksi sesuai tingkat toleransi.
Intervensi :
1) Observasi TTV sebelum dan sesudah beraktivitas terutama klien yang menggunakan obat vasodilator dan diuretic.
R/ Hipotensi orthostatik dapat terjadi karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan/pengaruh obat jantung.
2) Catat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dyspnea, pucat dan berkeringat.
R/ Penurunan miokardium untuk menaikkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menurunkan frekuensi jantung dan kebutuhan O2
3) Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas.
R/ Dapat menunjukkan kenaikan dekompensasi jantung terhadap kelebihan aktivitas dengan periode istirahat.
4) Bantu penuh atau sesuai indikasi dan selingi aktivitas dengan periode istirahat.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard.
5) Kolaborasi untuk program rehabilitasi jantung.
R/ Peningkatan aktivitas secara bertahap untuk mengurangi kerja jantung.
DP 3. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan.
HYD: Pernapasan klien normal 12-20 x/menit, bunyi nafas normal.
Intervensi :
1) Beri posisi semifowler/fowler.
R/ Meningkatkan ventilasi dan mengurangi aliran balik vena ke jantung dan meningkatkan ekspansi paru.
2) Jelaskan dan ajarkan klien batuk efektif dan nafas dalam.
R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2.
3) Auskultasi bunyi nafas, catat crackles, frekuensi pernapasan.
R/ Menyatakan adanya kongesti paru dan menunjukkan kebutuhan O2, informasi lanjut sebagai evaluasi terhadap respon terapi.
4) Kolaborasi dalam pemberian terapi O2.
R/ Menaikkan saturasi O2 dan mengetahui dyspnea dan fatigue.
5) Pantau nilai AGD.
R/ Monitor O2 dalam darah.
DP 4. Kelebihan volume cairan b/d kegagalan curah jantung, retensi cairan.
HYD: Edema berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi :
1) Kaji derajat edema dan ukur lingkar perut setiap hari.
R/ Pada gagal jantung, cairan dapat berkumpul di ekstremitas bawah, abdominal.
2) Pantau intake-output.
R/ Memantau balance cairan.
3) Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler.
R/ Posisi terlentang meningkatkan filtrasi ginjal menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Timbang BB bila memungkinkan.
R/ Catat perubahan ada atau hilangnya edema sebagai respon terhadap terapi.
5) Kaji distensi leher dan pembuluh perifer serta adanya edema dengan/tanpa pitting (catat adanya edema tubuh umum).
R/ Retensi cairan berlebihan dapat dimanfaatkan dengan pembendungan vena dan pembentukan edema.
6) Kaji adanya keluhan dyspnea yang ekstrim dan tiba-tiba.
R/ Menunjukkan terjadinya komplikasi (edema paru/emboli).
7) Berikan diit rendah sodium dan natrium serta batasan cairan.
R/ Mengurangi retensi cairan.
8)Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat digitalis, diuretik dan tambahan kalium.
R/ Meningkatkan tugas jantung, meningkatkan keluaran urine dan menghambat reabsorpsi natrium.
DP 5. Penurunan perfusi jaringan b/d penurunan curah jantung.
HYD: Pasien mengatakan perasaan nyaman atau tidak ada nyeri saat istirahat.
Nadi perifer teraba dan kuat.
Keluhan pusing berkurang sampai dengan hilang.
Warna kulit tidak pucat, suhu tubuh hangat.
Intervensi :
1) Kaji keluhan pasien (nyeri dada, pusing).
R/ Pengkajian yang tepat diperlukan untuk memberikan intervensi yang tepat.
2) Monitor TTV dan irama jantung setiap 4 jam.
R/ Nadi yang cepat dan reguler dapat menyebabkan penurunan curah jantung yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
3) Periksa nadi perifer setiap 4 jam.
R/ Nadi perifer teraba dan kuat mengindikasikan aliran arterial yang baik.
4) Kaji warna kulit, suhu dan tekstur kulit tiap 4 jam, catat dan laporkan bila ada perubahan.
R/ Penurunan perfusi jaringan dapat menyebabkan kulit menjadi dingin dan tekstur berubah.
DP 6. Risti kerusakan integritas kulit b/d penurunan perfusi jaringan, tirah baring lama.
HYD: Kerusakan kulit tidak terjadi pada daerah edema atau tertekan.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda edema pada daerah scrotum, tumit dan maleolus.
R/ Mengidentifikasi area edema dan rencana tindakan selanjutnya.
2) Pijat area yang tertekan.
R/ Meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.
3) Ubah posisi sering di tempat tidur dan bantu latihan rentang gerak aktif pasif (tiap 2-4 jam sekali).
R/ Memperbaiki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
4) Berikan perawatan kulit dan menjaga kelembaban.
R/ Terlalu kering atau lambat merusak kulit dan mempercepat kerusakan.
5) Jaga kebersihan alat tenun dan bebas kerut.
R/ Penurunan tekanan pada kulit memperbaiki sirkulasi.
DP 7. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan pengobatan b/d kurang informasi.
HYD: Secara verbal pasien memahami tentang penyakitnya dengan baik, ketentuan diet dan penatalaksanaan pengobatan.
Intervensi :
1) Diskusikan fungsi jantung normal dan jelaskan tentang fisiologinya.
R/ Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan.
2) Jelaskan tentang program pengobatan dan pentingnya menjalankan diet.
R/ Pengertian dalam pengobatan dapat meningkatkan motivasi klien.
3) Diskusikan tentang pentingnya istirahat.
R/ Aktivitas fisik yang berlebihan dapat berlanjut menjadi kelemahan jantung.
4) Diskusikan dalam pemberian obat dan efek samping obat.
R/ Pemahaman kebutuhan terapeutik pentingnya upaya pelaporan efek samping dapat mencegah terjadinya komplikasi obat.
5) Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
R/ Dapat memahami tentang proses perjalanan penyakit.
.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, 1989. Medical Surgical Nursing. St. Louis. CV. Mosby Company.
Brunner and Suddarth. 1999. Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2, Alih bahasa: Monica Ester, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Donna D. Ignatavicius, 1991. Medical Surgical Nursing, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Joyce M. Black, 1997. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of Care. Fifth Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia.
Lewis, Sharon Mantik, 2000, Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. Missouri: Mosby Inc.
Luckmann and Sorensen’s, 1993. Medical Surgical Nursing A Psychophysiologic Approach. Fourth edition.
Mansjoer, Arif dkk (editor), 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga, Jilid 2. Penerbit FKUI: Jakarta.
Marilynn E. Doengoes, 1993. Nursing Care Plan. Edition 3, Philadelphia: F.A. Davis Company.
Soeparman, Sarwono Waspadji, 1990. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Penerbit FKUI. Jakarta.
Internet www. Googgle.id. com. Angina Pektoris
DEFINISI
Aspirasi dari cairan amnion yang berisi mekonium pada trakhea janin atau bayi baru lahir saat di dalam uterus atau saat bernafas pertamakali.
PATOFISIOLOGI
Sindroma ini biasanya terjadi pada infant full-term. Mekonium ditemukan pada cairan amnion dari 10% dari keseluruhan neonatus, mengindikasikan beberapa tingkatan aspiksia dalam kandungan. Aspiksia mengakibatkan peningkatan peristaltik intestinal karena kurangnya oksigenasi aliran darah membuat relaksasi otot spincter anal sehingga mekonium keluar. Mekonium tersebut terhisap saat janin dalam kandungan.
Aspirasi mekonium menyebabkan obstruksi jalan nafas komplit atau partial dan vasospasme pulmonary. Partikel garam dalam mekonium bekerja seperti detergen, mengakibatkan luka bakar kimia pada jaringan paru. Jika kondisi berkelanjutan akan terjadi pneumothoraks, hipertensi pulmonal persisten dan pneumonia karena bakteri.
Dengan intervensi yang adekuat, gangguan ini akan membaik dalam beberapa hari, tetapi angka kematian mencapai 28% dari seluruh kejadian. Prognosis tergantung dari jumlah mekonium yang teraspirasi, derajat infiltrasi paru dan tindakan suctioning yang cukup. Suctioning termasuk aspirasi dari nasofaring selama kelahiran dan juga suctioning langsung pada trachea melalui selang endotracheal setelah kelahiran jika mekonium ditemukan.
Perencanaan berikut difokuskan pada perawatan infant yang mengalami aspirasi mekonium dan yang berresiko mengalami komplikasi pulmonary.
ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS
• Asfiksia fetal
• Prolonged labour
MANIFESTASI SPESIFIK
• Noda mekonium saat lahir
• Takipnea
• Hipoksia
• Hipoventilasi
PENANGANAN
• Suction secara adekuat pada hipopharing saat kelahiran
• Intubasi dan suction pada trachea
• Tangani dengan penanganan distress pernafasan
• Cegah hipoksia dan acidosis
PENGKAJIAN FISIK
Riwayat antenatal ibu
• Stress intra uterin
Status infant saat lahir
• Full-term, preterm, atau kecil masa kehamilan
• Apgar skor dibawah 5
• Terdapat mekonium pada cairan amnion
• Suctioning, rescucitasi atau pemberian therapi oksigen
Pulmonarry
• Disstress pernafasan dengan gasping, takipnea (lebih dari 60 x pernafasan per menit), grunting, retraksi, dan nasal flaring
• Peningkatan suara nafas dengan crakles, tergantung dari jumlah mekonium dalam paru
• Cyanosis
• Barrel chest dengan peningkatan dengan peningkatan diameter antero posterior (AP)
PENGKAJIAN BEHAVIORAL
• Disminished activity
STUDY DIAGNOSTIK
• Rontqen dada untuk menemukan adanya atelektasis, peningkatan diameter antero posterior, hiperinflation, flatened diaphragma dan terdapatnya pneumothorax
DATA LABORATORIUM
• Analisa gas darah untuk mengidentifikasi acidosis metabolik atau respiratorik dengan penurunan PO2 dan peningkatan tingkat PCO2
DIAGNOSA KEPERAWATAN
(1) Resiko tingi insufisiensi pernafasan berhubungan dengan aspirasi mekonium
Tujuan 1. Mencegah dan mengeluarkan mekonium yang teraspirasi pada saat lahir atau setelahnya
Intervensi :
• Observasi kebutuhan akan suctioning nasofaring saat kepala bayi lahir. Mekonium dalam cairan amnion merupakan indikasi dilakukan suction sebelum bayi baru lahir bernafas
• Lakukan suction pada trakhea infant dengan selang endotrakheal setelah kelahiran. Prosedur ini dilakukan sebelum menstimulasi infant jika ditemukan mekonium untuk mencegah aspirasi lebih lanjut
• Lanjutkan suction pada mulut bayi untuk mengeluarkan partikel mekonium yang lebih besar. Infant yang teraspirasi mekonium memerlukan resusitasi, khususnya infant yang mengalami disstress pernafasan
• Berikan istirahat dan ketenangan pada infant. Menangis atau agitasi dapat meningkatkan tekanan intra thorakal, menyebabkan pneumothorax
Tujuan 2. Identifikasi dan minimalkan kegagalan pernafasan setelah kelahiran
Intervensi :
• Kaji status respirasi yang mengindikasikan aspirasi mekonium dan memerlukan tindakan segera seperti :
- Frekuensi, kedalaman dan takipnea ( frekuensi nafas lebih dari 60 x/menit). Peningkatan frekuensi nafas menentukan peningkatan kebutuhan oksigen
- Grunting. Suara grunting terjadi karena penutupan glottis untuk menghentikan ekshalasi udara dengan desakan udara ke pita suara
- Nasal flaring.
- Retraksi dengan penggunaan otot bantu nafas. Retraksi mengindikasikan distensi paru yang tidak adekuat selama inspirasi
- Cyanosis. Cyanosis terjadi karena penurunan kadar oksigen dalam tubuh.
- Analisa gas darah menunjukkan peningkatan PCO2 dan penurunan PO2. Nilai tersebut mengindikasikan adanya acidosis
- Hasil serial ronqen dada. Dapat mengindikasikan atelektasis, hiperinflasi atau pneumothoraks
• Berikan therapi oksigen dan ventilasi mekanik dengan tekanan positif. Ventilasi mekanik kadang diperlukan kadang tidak. Tekanan positif diberikan setelah therapy bronkoskopi atau laringotrakheal untuk mencegah masuknya mekonium ke jalan nafas yang lebih kecil.
• Set ventilator mekanik untuk memberikan tekanan yang lebih tinggi dengan frekuensi nafas pendek (60 – 70 x /menit. Setting ini diperlukan untuk memberikan ventilasi alveoli bagian distal pada infant dengan aspirasi mekonium berat
• Pertahankan hiperoksigenasi dan nilai pH/AGD pada 7,45 – 7,55 dengan PCO2 22 – 30 mmHg. Hiperoksigenasi mencegah sirkulasi fetal persisten. Keadaan alkalosis respiratorik membentu menurunkan vasokontriksi paru pada infant dengan aspirasi mekonium.
• Berikan fisiotherapi dengan perkusi dan vibrasi setiap 1 – 2 jam. Gunakan percussor atau vibrator jika infant dapat mentoleransi treatment. Prosedur ini membantu mengeluarkan sekresi tapi prosedur ini dilakukan tergantung pada kondisi infant
• Cegah komplikasi infeksi (pneumonitis) dengan pemberian antibiotik IV sesuai pesanan (seperti ampicillin). Antibiotik menghancurkan bakteri dengan memecah dinding sel bakteri sehingga sel bakteri mati.
• Berikan aminoglycosides sesuai pesanan seperti kanamisin. Monitor kadar serum bayi. Aminoglycosides menghancurkan bakteri dengan menghambat sintesis protein sehingga sel bakteri mati. Berikan secara pelahan untuk mencegah toksisitas ginjal. Memonitor level serum memaksimalkan efeltifitas therapi obat.
• Jika dipesankan, berikan steroid untuk menurunkan respon inflamasi mekonium. Walaupun obat hidrokortison merupakan pilihan tetapi penggunaannya masih diperdebatkan.
• Siapkan infant untuk pembedahan dan pemasangan Extracorporeal Membrane Oksigenation (ECMO) Pump jika infant mengalami kerusakan fungsi paru yang berat. CCMD mempertahankan pertukaran dan perfusi gas. Pembedahan dilakukan untuk menanam dua tube kecil di leher dan menghubungkannnya dengan mesin ECMO yang memompakan darah melalui paru artificial. Prosedur ini memepertahankan infant tetap hidup sampai paru dapat didukung dengan ventilasi mekanik. Jika ECMO digunakan :
- Kaji intake dan output cairan infant. Mempertahankan keseimbangan cairan penting untuk mencegah overload cairan.
- Monitor PO2 atau nilai oksimetri. Nilai tersebut untuk mengevalusi oksigenasi jaringan
- Kaji status neurologik infant. Tanda neurologik menunjukkan perubahan status oksigenasi
- Suction saluran endotrakheal sesuai pesanan. Suctioning mempertahankan patensi jalan nafas dan membantu treatment.
Koping keluarga yang tidak efektif berhubungan dengan kecemasan, rasa bersalah dan kemungkinan perawatan jangka panjang
Tujuan : Meminimalkan kecemasan, rasa bersalah dan memberikan dukungan selama krisis situasi.
Intervensi :
• Kaji ekpressi verbal dan non verbal, perasaan dan penggunaan koping mekanisme. Data tersebut diperlukan untuk membantu perawat untuk membangun koping yang konstruktif pada keluarga
• Anjurkan orangtua mengungkapkan perasaannya tentang keadaan sakit anaknya, perawatan yang lama, dan prosedur yang dilakukan pada anaknya. Verbalisasi membantu mempertahankan rasa percaya, menurunkan tingkat kecemasan orangtua dan meningkatkan keterlibatan orangtua
• Berikan informasi yang konsisten dan akurat tetang kondisi dan perkembangan bayinya, perawatan di masa yang akan datang, dan potensial problem pernafasan. Informasi akan menurunkan kecemasan terhadap keadaan bayinya.
• Anjurkan keluarga berkunjung, ikut memberikan perawatan bila mungkin. Kunjungan, komunikasi dan partisipasi pada perawatan infant membantu proses bounding
• Informasikan kepada orangtua tentang kebutuhan setelah pulang dan intruksikan prosedur yang penting saat di rumah. Beberapa infant membutuhkan bantuan ventilator setelah pulang ke rumah.
• Rujuk orangtua pada perawat komunitas dan informasikan tentang fasilitas kesehatan yang bisa dihubungi. Rujukan memberikan support kepada keluarga untuk terus mengontrol keadaan bayinya.
b) DIAGNOSA KEPERAWATAN LAIN YANG MUNGKIN
• Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan kalori.
• Kecemasan orangtua berhubungan dengan kemungkinan kematian pada infant, respon terhadap perawatan yang lama, dan pemberian bantuan ventilator di rumah
• Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan IWL dari peningkatan pernafasan
• Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pneumonia sebagai akibat mekonium pada paru
• Resiko tinggi injury berhubungan dengan komplikasi pneumothoraks, atelektasis
• Kegagalan pertukaran gas berhubungan dengan pneumonitis chemical dan kegagalan fungsi paru akibat aspirasi mekonium
• Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan aspirasi mekonium
• Deficit pengetahuan orangtua berhubungan dengan perawatan jangka panjang setelah kepulangan.
DAFTAR PUSTAKA
Melson, Kathryn A. & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care Palnning, Second Edition, Springhouse Corporation, Springhouse, 1994
Wong, Donna L., Clinical Manual of Pediatric Nursing, Fourth Edition, Mosby Year Book Inc, Missouri 1996.

Pendahuluan
Defisiensi gizi dapat terjadi pada anak yang kurang mendapatkan masukan makanan dalam waktu lama. Istilah dan klasifikasi gangguan kekurangan gizi amat bervariasi dan masih merupakan masalah yang pelik. Walaupun demikian, secara klinis digunakan istilah malnutrisi energi dan protein (MEP) sebagai nama umum. Penentuan jenis MEP yang tepat harus dilakukan dengan pengukuran antropometri yang lengkap (tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit), dibantu dengan pemeriksaan laboratorium (Ngastiyah, 1997).
Klasifikasi
Untuk kepentingan praktis di klinik maupun di lapangan klasifikasi MEP ditetapkan dengan patokan perbandingan berat badan terhadap umur anak sebagai berikut:
1) Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan)
2) Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat)
3) Berat badan <60% standar tanpa edema : marasmus (MEP berat)
4) Berat badan <60% standar dengan edema : marasmik kwashiorkor (MEP berat)
(Ngastiyah, 1997)
Kwashiorkor adalah MEP berat yang disebabkan oleh defisiensi protein. Penyakit kwashiorkor pada umumnya terjadi pada anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah karena tidak mampu menyediakan makanan yang cukup mengandung protein hewani seperti daging, telur, hati, susu dan sebagainya. Makanan sumber protein sebenarnya dapat dipenuhi dari protein nabati dalam kacang-kacangan tetapi karena kurangnya pengetahuan orang tua, anak dapat menderita defisiensi protein.
Marasmus adalah MEP berat yang disebabkan oleh defisiensi makanan sumber energi (kalori), dapat terjadi bersama atau tanpa disertai defsiensi protein. Bila kekurangan sumber kalori dan protein terjadi bersama dalam waktu yang cukup lama maka anak dapat berlanjut ke dalam status marasmik kwashiorkor.
Patofisiologi dan Masalah Keperawatan yang Mungkin Terjadi
Status sosial ekonomi rendah —– + —– Kurang pengetahuan —– + —– Sistem dukungan sosial tidak memadai
Defisiensi Protein Defisiensi Sumber Kalori
Katabolisme Protein & Lemak ↑
Defisiensi Asam Amino Esensial Hipoproteinemia Defisiensi energi fisik
(hipoalbiminemia)
Gangguan Sintesis Sel Ggn pola aktivitas/bermain (cengeng, apatis)
Ggn pertumbuhan fisik Ggn perkembangan motorik-mental-sosial Edema
- ukuran antropometrik << – motorik kasar
- motorik halus Risiko gangguan integritas kulit
- kognitif dan bahasa
- sosial
Ggn sintesis sel-sel darah:
- Anemia gizi
- Gangguan imunitas seluler Risiko infeksi sistemik ↑
Pencernaan Pernapasan:
- mual/muntah - bronkhitis
← - gastroenteritis - brokhopneumonia → Ggn pola napas/bersihan jalan napas
- malabsorbsi - tuberkulosis)
Tindakan invasif:
- sonde/infus
Gambaran Klinik dan Diagnosis
Gambaran klinik antara Marasmus dan Kwashiorkor sebenarnya berbeda walaupun dapat terjadi bersama-sama (Ngastiyah, 1997)
Gambaran Klinik Kwashiorkor:
Pertumbuhan terganggu (berat badan dan tinggi badan kurang dari standar)
Tabel 1: Perkiraan Berat Badan (Kg)
1. Lahir 3,25
2. 3-12 bulan (bln + 9) / 2
3. 1-6 tahun (thn x 2) + 8
4. 6-12 tahun {(thn x 7) – 5} / 2
(Soetjiningsih, 1998, hal. 20)
Tabel 2: Perkiraan Tinggi Badan (Cm)
1. 1 tahun 1,5 x TB lahir
2. 4 tahun 2 x TB lahir
3. 6 tahun 1,5 x TB 1 thn
4. 13 tahun 3 x TB lahir
5. Dewasa 3,5 x TB lahir = 2 x TB 2 thn
(Soetjiningsih, 1998, hal. 21)
Perubahan mental (cengeng atau apatis)
Pada sebagian besar anak ditemukan edema ringan sampai berat)
Gejala gastrointestinal (anoreksia, diare)
Gangguan pertumbuhan rambut (defigmentasi, kusam, kering, halus, jarang dan mudah dicabut)
Kulit kering, bersisik, hiperpigmentasi dan sering ditemukan gambaran crazy pavement dermatosis.
Pembesaran hati (kadang sampai batas setinggi pusat, teraba kenyal, licin dengan batas yang tegas)
Anemia akibat gangguan eritropoesis.
Pada pemeriksaan kimia darah ditemukan hipoalbuminemia dengan kadar globulin normal, kadar kolesterol serum rendah.
Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, sering disertai tanda fibrosis, nekrosis dan infiltrasi sel mononukleus.
Hasil autopsi pasien kwashiorkor yang berat menunjukkan terjadinya perubahan degeneratif pada semua organ (degenerasi otot jantung, atrofi fili usus, osteoporosis dan sebagainya)
Gambaran Klinik Marasmus:
Pertumbuhan berkurang atau terhenti, otot-otot atrofi
Perubahan mental (cengeng, sering terbangun tengah malam)
Sering diare, warna hijau tua, terdiri dari lendir dengan sedikit tinja.
Turgor kulit menurn, tampak keriput karena kehilangan jaringan lemak bawah kulit
Pada keadaan marasmik yang berat, lemak pipi juga hilang sehingga wajah tampak lebih tua, tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol
Vena superfisial tampak lebih jelas
Perut membuncit dengan gambaran usus yang jelas.
Konsep Asuhan Keperawatan Marasmik-Kwashiorkor
Riwayat Keperawatan
Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan keluhan gangguan pertumbuhan (berat badan semakin lama semakin turun), bengkak pada tungkai, sering diare dan keluhan lain yang menunjukkan terjadinya gangguan kekurangan gizi.
Riwayat Keperawatan Sekarang
Meliputi pengkajian riwayat prenatal, natal dan post natal, hospitalisasi dan pembedahan yang pernah dialami, alergi, pola kebiasaan, tumbuh-kembang, imunisasi, status gizi (lebih, baik, kurang, buruk), psikososial, psikoseksual, interaksi dan lain-lain. Data fokus yang perlu dikaji dalam hal ini adalah riwayat pemenuhan kebutuhan nutrisi anak (riwayat kekurangan protein dan kalori dalam waktu relatif lama).
Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi pengkajian pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain.
Pengkajian Fisik
Meliputi pengkajian pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain.Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to too yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital, area kepala dan wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan genito-urinaria.
Fokus pengkajian pada anak dengan Marasmik-Kwashiorkor adalah pengukuran antropometri (berat badan, tinggi badan, lingkaran lengan atas dan tebal lipatan kulit). Tanda dan gejala yang mungkin didapatkan adalah:
Penurunan ukuran antropometri
Perubahan rambut (defigmentasi, kusam, kering, halus, jarang dan mudah dicabut)
Gambaran wajah seperti orang tua (kehilangan lemak pipi), edema palpebra
Tanda-tanda gangguan sistem pernapasan (batuk, sesak, ronchi, retraksi otot intercostal)
Perut tampak buncit, hati teraba membesar, bising usus dapat meningkat bila terjadi diare.
Edema tungkai
Kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik dan adanya crazy pavement dermatosis terutama pada bagian tubuh yang sering tertekan (bokong, fosa popliteal, lulut, ruas jari kaki, paha dan lipat paha)
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik normokrom karen
A adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan radiologis juga perlu dilakukan untuk menemukan adanya kelainan pada paru.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin dapat ditemukan pada anak dengan Marasmik-Kwashiorkor adalah:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak adekuat, anoreksia dan diare.
Kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan kehilangan akibat diare.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang tidak adekuat.
Risiko aspirasi b/d pemberian makanan/minuman personde dan peningkatan sekresi trakheobronkhial.
Bersihan jalan napas tak efektif b/d peningkatan sekresi trakheobronkhial sekunder terhadap infeksi saluran pernapasan
Rencana Keperawatan
1) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak adekuat, anoreksia dan diare (Carpenito, 2000, hal. 645-655).
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Klien akan menunjukkan pening-katan status gizi.
Kriteria:
Keluarga klien dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi yang dialami klien, kebutuhan nutrisi pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang.
Dengan bantuan perawat, keluarga klien dapat mendemonstrasikan pemberian diet (per sonde/per oral) sesuai program dietetik.
Jelaskan kepada keluarga tentang penyebab malnutrisi, kebutuhan nutrisi pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang, tunjukkan contoh jenis sumber makanan ekonomis sesuai status sosial ekonomi klien.
Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga untuk melakukannya sendiri.
Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit setiap pagi.
Meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyebab dan kebutuhan nutrisi untuk pemulihan klien sehingga dapat meneruskan upaya terapi dietetik yang telah diberikan selama hospitalisasi.
Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi klien.
Roborans meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi defisit yang menyertai keadaan malnutrisi.
Menilai perkembangan masalah klien.
2) Kekurangan volume cairan tubuh b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan kehilangan akibat diare(Carpenito, 2000, hal. 411-419).
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Klien akan menunjukkan keadaan hidrasi yang adekuat.
Kriteria:
Asupan cairan adekuat sesuai kebutuhan ditambah defisit yang terjadi.
Tidak ada tanda/gejala dehidrasi (tanda-tanda vital dalam batas normal, frekuensi defekasi ≤ 1 x/24 jam dengan konsistensi padat/semi padat).
Lakukan/observasi pemberian cairan per infus/sonde/oral sesuai program rehidrasi.
Jelaskan kepada keluarga tentang upaya rehidrasi dan partisipasi yang diharapkan dari keluarga dalam pemeliharan patensi pemberian infus/selang sonde.
Kaji perkembangan keadaan dehidarasi klien.
Hitung balans cairan.
Upaya rehidrasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan volume cairan.
Meningkatkan pemahaman keluarga tentang upaya rehidrasi dan peran keluarga dalam pelaksanaan terpi rehidrasi.
Menilai perkembangan masalah klien.
Penting untuk menetapkan program rehidrasi selanjutnya.
3) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan kalori dan protein yang tidak adekuat (Carpenito, 2000, hal. 448-460).
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Klien akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan sesuai standar usia.
Kriteria:
Pertumbuhan fisik (ukuran antropometrik) sesuai standar usia.
Perkembangan motorik, bahasa/ kognitif dan personal/sosial sesuai standar usia.
Ajarkan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas perkembangan sesuai usia anak.
Lakukan pemberian makanan/ minuman sesuai program terapi diet pemulihan.
Lakukan pengukuran antropo-metrik secara berkala.
Lakukan stimulasi tingkat perkembangan sesuai dengan usia klien.
Lakukan rujukan ke lembaga pendukung stimulasi pertumbuhan dan perkembangan (Puskesmas/Posyandu)
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Diet khusus untuk pemulihan malnutrisi diprogramkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan toleransi sistem pencernaan.
Menilai perkembangan masalah klien.
Stimulasi diperlukan untuk mengejar keterlambatan perkembangan anak dalam aspek motorik, bahasa dan personal/sosial.
Mempertahankan kesinambungan program stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak dengan memberdayakan sistem pendukung yang ada.
4) Risiko aspirasi b/d pemberian makanan/minuman personde dan peningkatan sekresi trakheobronkhial (Carpenito, 2000, hal. 575-580).
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Klien tidak mengalami aspirasi.
Kriteria:
Pemberian makan/minuman per sonde dapat dilakukan tanpa mengalami aspirasi.
Bunyi napas normal, ronchi tidak ada.
Periksa dan pastikan letak selang sonde pada tempat yang semestinya secara berkala.
Periksa residu lambung setiap kali sebelum pemberian makan-an/minuman.
Tinggikan posisi kepala klien selama dan sampai 1 jam setelah pemberian makanan/minuman.
Ajarkan/demonstrasikan tatacara pelaksanaan pemberian makanan/ minuman per sonde, beri kesempatan keluarga melakukan-nya setelah memastikan keamanan klien/kemampuan keluarga.
Observasi tanda-tanda aspirasi.
Merupakan tindakan preventif, meminimalkan risiko aspirasi.
Penting untuk menilai tingkat kemampuan absorbsi saluran cerna dan waktu pemberian makanan/minuman yang tepat.
Mencegah refluks yang dapat menimbulkan aspirasi.
Melibatkan keluarga penting bagi tindak lanjut perawatan klien.
Menilai perkembangan masalah klien.
5) Bersihan jalan napas tak efektif b/d peningkatan sekresi trakheobronkhial sekunder terhadap infeksi saluran pernapasan (Carpenito, 2000, hal. 799-801).
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Klien akan menunjukkan jalan napas yang efektif.
Kriteria:
Jalan napas bersih dari sekret, sesak napas tidak ada, pernapasan cuping hidung tidak ada, bunyi napas bersih, ronchi tidak ada.
Lakukan fisioterapi dada dan suction secara berkala.
Lakukan pemberian obat mukolitik/ekspektorans sesuai program terapi.
Observasi irama, kedalaman dan bunyi napas.
Fisioterapi dada meningkatkan pelepasan sekret. Suction diperlukan selama fase hipersekresi trakheobronkhial.
Mukolitik memecahkan ikatan mukus; ekspektorans mengencerkan m,ukus.
Menilai perkembangan maslah klien.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. Ke-6, EGC, Jakarta.
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Soetjiningsih (1998), Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta

I. DEFINISI
Dikenal juga sebagai respiratory distress sydrom yang idiopatik, hyaline membrane disease merupakan keaadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 yang mempunyai berat dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu mengalami RDS.
Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan memadai. Surfactan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfactan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory. Reduksi pada ventilasi akan menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia. Hipoksia jaringan dan acidosis metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis dan kegagalan pernafasan yang progresif.
RDS merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada bayi prematur, biasanya setelah 3 – 5 hari. Prognosanya buruk jika support ventilasi lama diperlukan, kematian bisa terjadi setelah 3 hari penanganan.
II. ETIOLOGY DAN FAKTOR PRESIPITASI
- Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu) dan tidak adanya, gangguan atau defisiensi surfactan
- Bayi prematur yang lahir dengan operasi caesar
- Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau prematur.
III. PENGKAJIAN
Riwayat maternal
- Menderita penyakit seperti diabetes mellitus
- Kondisi seperti perdarahan placenta
- Tipe dan lamanya persalinan
- Stress fetal atau intrapartus
Status infant saat lahir
- Prematur, umur kehamilan
- Apgar score, apakah terjadi aspiksia
- Bayi prematur yang lahir melalui operasi caesar
Cardiovaskular
- Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat
- Murmur sistolik
- Denyut jantung dalam batas normal
Integumen
- Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi periferal
- Pitting edema pada tangan dan kaki
- Mottling
Neurologis
- Immobilitas, kelemahan, flaciditas
- Penurunan suhu tubuh
Pulmonary
- Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 – 100 x )
- Nafas grunting
- Nasal flaring
- Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal
- Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan persentase desaturasi hemoglobin
- Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea
IV. STATUS BEHAVIORAL
- Lethargy
V. STUDY DIAGNOSTIK
- Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan overdistensi duktus alveolar
- Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
Data laboratorium
- Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
Ø Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio
2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
Ø Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Ø Tingkat phosphatydylinositol
- Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
- Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak
VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kolaboratif problem : Insufisiensi respiratory berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan vintilasi alveolar
Tujuan 1 : Tanda dan gejala disstres pernafasan, deviasi dari fungsi dan resiko infant terhadap RDS dapat teridentifikasi
Intervensi Rasional
1. Kaji infant yang beresiko mengalami RDS yaitu :
- Riwayat ibu dengan daibetes mellitus atau perdarahan placenta
- Prematuritas bayi
- Hipoksia janin
- Kelahiran melalui operasi caesar Pengkajian diperlukan untuk menentukan intervensi secepatnya bila bayi menunjukkan adanya tanda disstres nafas dan terutama untuk memperbaiki prognosa
2. Kaji perubahan status pernafasan termasuk :
- Takipnea (pernafasan diatas 60 x per menit, mungkin 80 – 100 x)
- Nafas grunting
- Nasal flaring
- Retraksi intercostal, suprasternal atau substernal dengan penggunaan otot bantu nafas
- Cyanosis
- Episode apnea, penurunan suara nafas dan adanya crakles Perubahan tersebut mengindikasikan RDS telah terjadi, panggil dokter untuk tindakan secepatnya
- Pernafasan bayi meningkat karena peningkatan kebutuhan oksigen
- Suara ini merupakan suara keran penutupan glotis untuk menghentikan ekhalasi udara dengan menekan pita suara
- Merupakan keadaan untuk menurunkan resistensi dari respirasi dengan membuka lebar jalan nafas
- Retraksi mengindikasikan ekspansi paru yang tidak adekuat selama inspirasi
- Cyanosis terjadi sebagai tanda lanjut dengan PO2 dibawah 40 mmHg
- Episode apneu dan penurunan suara nafas menandakan distress nafas semakin berat
3. Kaji tanda yang terkait dengan RDS
- Pallor dan pitting edema pada tangan dan kaki selama 24 jam
- Kelemahan otot
- Denyut jantung dibawah 100 x per menit pada stadium lanjut
- Nilai AGD dengan PO2 dibawah 40 mmHg, pco2 diatas 65 mmHg, dan pH dibawah 7,15
Tanda-tanda tersebut terjadi pada RDS
- Tanda ini terjadi karena vasokontriksi perifer dan penurunan permeabilitas vaskuler
- Tanda ini terjadi karena ekshaution yang disebabkan kehilangan energi selama kesulitan nafas
- Bradikardia terjadi karena hipoksemia berat
- Tanda ini mengindikasikan acidosis respiratory dan acidosis metabolik jika bayi hipoksik
4. Monitor PO2 trancutan atau nilai pulse oksimetri secara kontinyu setiap jam Nilai PO2 traskutan dan pulse oksimetri non invasif menunjukkan prosentase oksigen saat inspirasi udara.
Tujuan 2. Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi pulmonal
Intervensi Rasional
1. Berikan kehangatan dan oksigen sesuai dengan sbb
- Oksigen yang dihangatkan 31,7C – 33,9C
- Humidifikasi 40% – 60%
- Beri CPAP positif
- Beri PEEP positif Untuk mencegah terjadinya hipotermia dan memenuhi kebutuhan oksigen tubuh
2. Berikan pancuronium bromide (Pavulon) Obat ini berguna sebagai relaksan otot untuk mencegah injury karena pergerakan bayi saat ventilasi
3. Tempatkan bayi pada lingkungan dengan suhu normal serta monitor temperatur aksila setiap jam Lingkungan dengan suhu netral akan menurunkan kebutuhan oksigen dan menurunkan produksi CO2.
4. Monitor vital signs secara kontinyu yaitu denyut jantung, pernafasan, tekanan darah, serta auskultasi suara nafas Perubahan vital signs menandakan tingkat keparahan atau penyembuhan
5. Observasi perubahan warna kulit, pergerakan dan aktivitas Karena perubahan warna kulit, pergerakan dan aktivitas mengindikasikan peningkatan metabolisme oksigen dan glukosa. Informasi yang penting lainnya adalah perubahan kebutuhan cairan, kalori dan kebutuhan oksigen.
6. Pertahankan energi pasien dengan melakukan prosedur seefektif mungkin. Mencegah penurunan tingkat energi infant
7. Monitor serial AGD seperti PaO2, PaCo2, HCO3 dan pH setiap hari atau bila dibutuhkan Perubahan mengindikasikan terjadinya acidosis respiratorik atau metabolik
Diagnosa keperawatan : Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.
Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi
Intervensi Rasional
1. Berikan infus D 10% W sekitar 65 – 80 ml/kg bb/ hari
Untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral
2. Pasang selang nasogastrik atau orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambung Pilihan ini dilakukan jika masukan sudah tidak mungkin dilakukan.
3. Cek lokasi selang NGT dengan cara :
- Aspirasi isi lambung
- Injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung
- Letakkan ujung selang di air, bila masuk lambung, selang tidak akan memproduksi gelembung Untuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernafasan
4. Berikan makanan sesuai dengan prosedur berikut :
- Elevasikan kepala bayi
- Berikan ASI atau susu formula dengan prinsip gravitasi dengan ketinggian 6 – 8 inchi dari kepala bayi
- Berikan makanan dengan suhu ruangan
- Tengkurapkan bayi setelah makan sekitar 1 jam
Memberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energi bayi
5. Berikan TPN jika diindikasikan TPN merupakan metode alternatif untuk mempertahankan nutrisi jika bowel sounds tidak ada dan infants berada pada stadium akut.
Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan insesible
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Intervensi Rasional
1. Pertahankan pemberian infus Dex 10% W 60 – 100 ml/kg bb/hari Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan
2. Tingkatkan cairan infus 10 ml/kg/hari, tergantung dari urine output, penggunaan pemanas dan jumlah feedings
Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan penggunaan pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan
3. Pertahankan tetesan infus secara stabil, gunakan infusion pump
Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan fatal.
4. Monitor intake cairan dan output dengan cara :
- Timbang berat badan bayi setiap 8 jam
- Timbang popok bayi untuk menentukan urine output
- Tentukan jumlah BAB
- Monitor jumlah asupan cairan infus setiap hari Catatan intake dan output cairan penting untuk menentukan ketidak seimbangan cairan sebagai dasar untuk penggantian cairan
5. Lakukan pemeriksaan sodium dan potassium setiap 12 atau 24 jam
Peningkatan tingkat sodium dan potassium mengindikasikan terjadinya dehidrasi dan potensial ketidakseimbangan elektrolit
Diagnosa keperawatan : Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis
Tujuan : Meminimalkan kecemasan dan rasa bersalah, dan mendukung bounding antara orangtua dan infant
Intervensi Rasional
1. Kaji respon verbal dan non verbal orangtua terhadap kecemasan dan penggunaan koping mekanisme Hal ini akan membantu mengidentifikasi dan membangun strategi koping yang efektif
2. Bantu orangtua mengungkapkan perasaannya secara verbal tentang kondisi sakit anaknya, perawatan yang lama pada unit intensive, prosedur dan pengobatan infant Membuat orangtua bebas mengekpresikan perasaannya sehingga membantu menjalin rasa saling percaya, serta mengurangi tingkat kecemasan
3. Berikan informasi yang akurat dan konsisten tentang kondisi perkembangan infant Informasi dapat mengurangi kecemasan
4. Bila mungkin, anjurkan orangtua untuk mengunjungi dan ikut terlibat dalam perawatan anaknya Memfasilitasi proses bounding
5. Rujuk pasien pada perawat keluarga atau komunitas Rujukan untuk mempertahankan informasi yang adekuat, serta membantu orangtua menghadapi keadaan sakit kronis pada anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Melson, A. Kathryn & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care Planning, Second Edition, Springhouse Corporation, Pennsylvania, 1994

Penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan akan meninggal waktu bayi. Apabila penyakit jantung bawaan ditemukan pada orang dewasa, hal ini menunjukkan bahwa pasien tersebut mampu melalui seleksi alam, atau telah mengalami tindakan operasi dini pada usia muda.
(IPD FKUI,1996 ;1134)
A. Pengertian
Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus aorta ke VI pada janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta desendens. Pada bayi normal duktus tersebut menutup secara fungsional 10 – 15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum pada usia 2 – 3 minggu. Bila tidak menutup disebut Duktus Arteriosus Persisten (Persistent Ductus Arteriosus : PDA). (Buku ajar kardiologi FKUI, 2001 ; 227)
Patent Duktus Arteriosus adalah kegagalan menutupnya ductus arteriosus (arteri yang menghubungkan aorta dan arteri pulmonal) pada minggu pertama kehidupan, yang menyebabkan mengalirnya darah dari aorta tang bertekanan tinggi ke arteri pulmonal yang bertekanan rendah. (Suriadi, Rita Yuliani, 2001; 235)
Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner (tekanan lebih rendah). (Betz & Sowden, 2002 ; 375)
B. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :
1. Faktor Prenatal :
v Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
v Ibu alkoholisme.
v Umur ibu lebih dari 40 tahun.
v Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin.
v Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.
2. Faktor Genetik :
v Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
v Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
v Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
v Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.
(Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita, 2001 ; 109)
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh masalah-masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya sindrom gawat nafas). Tanda-tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat selama 4 – 6 jam sesudah lahir. Bayi dengan PDA kecil mungkin asimptomatik, bayi dengan PDA lebih besar dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif (CHF)
• Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung
• Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling nyata terdengar di tepi sternum kiri atas)
• Tekanan nadi besar (water hammer pulses) / Nadi menonjol dan meloncat-loncat, Tekanan nadi yang lebar (lebih dari 25 mm Hg)
• Takhikardia (denyut apeks lebih dari 170), ujung jari hiperemik
• Resiko endokarditis dan obstruksi pembuluh darah pulmonal.
• Infeksi saluran nafas berulang, mudah lelah
• Apnea
• Tachypnea
• Nasal flaring
• Retraksi dada
• Hipoksemia
• Peningkatan kebutuhan ventilator (sehubungan dengan masalah paru)
(Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236, Betz & Sowden, 2002 ; 376)
D. Pathways
Terlampir
E. Komplikasi
§ Endokarditis
§ Obstruksi pembuluh darah pulmonal
§ CHF
§ Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur)
§ Enterokolitis nekrosis
§ Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau displasia bronkkopulmoner)
§ Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit
§ Hiperkalemia (penurunan keluaran urin.
§ Aritmia
§ Gagal tumbuh
(Betz & Sowden, 2002 ; 376-377, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)
F. Penatalaksanaan Medis
q Penatalaksanaan Konservatif : Restriksi cairan dan bemberian obat-obatan : Furosemid (lasix) diberikan bersama restriksi cairan untuk meningkatkan diuresis dan mengurangi efek kelebihan beban kardiovaskular, Pemberian indomethacin (inhibitor prostaglandin) untuk mempermudah penutupan duktus, pemberian antibiotik profilaktik untuk mencegah endokarditis bakterial.
q Pembedahan : Pemotongan atau pengikatan duktus.
q Non pembedahan : Penutupan dengan alat penutup dilakukan pada waktu kateterisasi jantung.
(Betz & Sowden, 2002 ; 377-378, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto Thorak : Atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat
2. Ekhokardiografi : Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan)
3. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran darah dan arahnya.
4. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, pada PDA kecil tidak ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar.
5. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya.
(Betz & Sowden, 2002 ;377)
H. Pengkajian
q Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas)
q Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (machinery mur-mur), edera tungkai, hepatomegali.
q Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
q Kaji adanya hiperemia pada ujung jari
q Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
q Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan Curah jantung b.d malformasi jantung.
2. Gangguan pertukaran gas b.d kongesti pulmonal.
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke sel.
4. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.
6. Resiko infeksi b.d menurunnya status kesehatan.
7. Perubahan peran orang tua b.d hospitalisasi anak, kekhawatiran terhadap penyakit anak.
J. Intervensi
1. Mempertahankan curah jantung yang adekuat :
• Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit
• Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing)
• Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)
• Kolaborasi pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas.
• Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
• Berikan diuretik sesuai indikasi.
2. Mengurangi adanya peningkatan resistensi pembuluh paru:
• Monitor kualitas dan irama pernafasan
• Atur posisi anak dengan posisi fowler
• Hindari anak dari orang yang terinfeksi
• Berikan istirahat yang cukup
• Berikan nutrisi yang optimal
• Berikan oksigen jika ada indikasi
3. Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat :
• Ijinkan anak untuk sering beristirahat, dan hindarkan gangguan pada saat tidur
• Anjurkan untuk melakukan permainan dan aktivitas ringan
• Bantu anak untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan usia, kondisi dan kemampuan anak.
• Hindarkan suhu lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin
• Hindarkan hal-hal yang menyebabkan ketakutan / kecemasan pada anak
4. Memberikan support untuk tumbuh kembang
• Kaji tingkat tumbuh kembang anak
• Berikan stimulasi tumbuh kembang, kativitas bermain, game, nonton TV, puzzle, nmenggambar, dan lain-lain sesuai kondisi dan usia anak.
• Libatkan keluarga agar tetap memberikan stimulasi selama dirawat
5. Mempertahankan pertumbuhan berat badan dan tinggi badan yang sesuai
• Sediakan diit yang seimbang, tinggi zat-zat nutrisi untuk mencapai pertumbuhan yang adekuat
• Monitor tinggi badan dan berat badan, dokumentasikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan anak
• Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama
• Catat intake dan output secara benar
• Berikan makanan dengan porsi kecil tapi sering untuk menghindari kelelahan pada saat makan
• Anak-anak yang mendapatkan diuretik biasanya sangat haus, oleh karena itu cairan tidak dibatasi.
6. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
• Hindari kontak dengan individu yang terinfeksi
• Berikan istirahat yang adekuat
• Berikan kebutuhan nutrisi yang optimal
7. Memberikan support pada orang tua
• Ajarkan keluarga / orang tua untuk mengekspresikan perasaannya karena memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskudikan rencana pengobatan, dan memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan
• Ekplorasi perasaan orang tua mengenai perasaan ketakutan, rasa bersalah, berduka, dan perasaan tidak mampu
• Mengurangi ketakutan dan kecemasan orang tua dengan memberikan informasi yang jelas
• Libatkan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit
• Memberikan dorongan kepada keluarga untuk melibatkan anggota keluarga lain dalama perawatan anak.
K. Hasil Yang Diharapkan
1. Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung
2. Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru
3. Anaka akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat
4. Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan
5. Anaka akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dan menopang pertumbuhan
6. Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi
7. Orang tua akan mengekspresikan perasaannya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.
L. Perencanaan Pemulangan
• Kontrol sesuai waktu yang ditentukan
• Jelaskan kebutuhan aktiviotas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan usia dan kondisi penyakit
• Mengajarkan ketrampilan yang diperlukan di rumah, yaitu :
- Teknik pemberian obat
- Teknik pemberian makanan
- Tindakan untuk mengatasi jika terjadi hal-hal yang mencemaskan tanda-tanda komplikasi, siapa yang akan dihubungi jika membutuhkan pertolongan.
PENGERTIAN
Pangertian
Penyakit infeksi kronis dengan karakteristik terbentuknya tuberkel granuloma pada paru. Yang biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis (Amin, M.,1999).
Faktor Resiko
Ü Rasial/Etnik group : Penduduk asli Amerika, Eskimo, Negro, Imigran dari Asia Tenggara.
Ü Klien dengan ketergantuangan alkhohol dan kimia lain yang menimbulkan penurunan status kesehatan.
Ü Bayi dan anak di bawah 5 tahun.
Ü Klien dengan penurunan imunitas : HIV positip, terapi steroid & kemoterapi kanker.
Tuberkolosis yang terjadi pada paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis, terjadi dalam 6 bulan pertama setelah terjadi infeksi sebagai akibat penyebaran limfogen dan atau hematogen, biasanya multipel.
PATOGENESIS
Tanpa infeksi Inflamasi disebar oleh limfe
Fibrosis Timbul jar. Ikat sifat
Elastik & tebal.
Kalsifikasi
– Batuk Alaveolus tidak
– Spuntum purulen Exudasi kembali saat
– Hemoptisis ekspirasi
– BB menurun Nekrosis/perkejuan
Gas tidak dapat
Kavitasi berdifusi dgn. Baik.
Sesak
95% 5%
5%
Kuman
Infeksi primer
Sembuh total Sembuh dgn. Sarang Komplikasi
ghon – Menyebar ke seluruh
tubuh scr. Bronkhogen,
limphogen, hematogen
Infeksi post primer Kuman dormant
Muncul bertahun kemudian
Diresorpsi kembali/sembuh Membentuk jar. keju Sarang meluas
Jika dibatukkan sembuh dgn.
membentuk kavitas. Jar. Fibrotik
.
Kavitas meluas Memadat & membungkus diri Bersih & menyembuh
Membentuk sarang tuberkuloma
Patofisiological pathway
TBC
Virus/Bakteri masuk Jaringan Otak
Peradangan Di Otak
Edema Pembentukan
Transudat & Eksudat
Gangguan Perfusi Reaksi Kuman Iritasi Korteks Kerusakan Kerusakan
Jaringan Cerebral Patogen Cerebral Area Saraf IV Saraf IX
Fokal Seizure
Suhu Tubuh Resiko Trauma Sulit Sulit
Nyeri Mengunyah Makan
Deficit Cairan Gangguan Pemenuhan
Nutrisi
Kesadaran Hipovolemik
Stasis Cairan Tubuh Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan Persepsi Sensori
Penumpukan Sekret
Gangguan Bersihan Jalan Nafas
LESI PADA TBC PARU
Kelenjar limfe : hilus, parantrakeal, mediatinum
Parenkhim : fokos primer, pnemonia, atelaktis, terkuloma, kavitas
Saluran pernafasan : air traping” penyakit endobronkhial , trakeobronkhial, stenosis, bronkhus, fistula bronkhopleura, bronkhopl, bronkhoektasis, fistula bronkhoesofagus.
Pleura : efusi, emfisema, pneumothorak, hemothorak, fistula bronkhop;eura
Pembuluh darah : milier, perdarahan paru.
Bentuk klinis TBC Pada Anak
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien: selain nama klien, juga orangtua; asal kota dan daerah, jumlah keluarga.
2. Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.
4. Riwayat penyakit dahulu:
* Pernah sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada leher serta tempat kelenjar yang lainnya dan sudah diberi pengobatan antibiotik tidak sembuh-sembuh?
* Pernah berobat tapi tidak sembuh?
* Pernah berobat tapi tidak teratur?
* Riwayat kontak dengan penderita TBC.
* Daya tahan yang menurun.
* Riwayat imunisasi/vaksinasi.
* Riwayat pengobatan.
5.
* Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
* Riwayat keluarga.
* Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
* Aspek psikososial.
* Merasa dikucilkan.
* Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
* Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
* Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak.
* Tidak bersemangat dan putus harapan.
Lingkungan:
* Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota keluarga yang banyak.
6. Pola fungsi kesehatan.
1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
2) Pola nutrisi – metabolik.
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan, turgor kulit jelek.
3) Pola eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan splenomegali.
4) Pola aktifitas – latihan
Sesak nafas, fatique, tachicardia,aktifitas berat timbul sesak nafas (nafas pendek).
5) Pola tidur dan istirahat
Iritable, sulit tidur, berkeringat pada malam hari.
6) Pola kognitif – perseptual
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum, takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak mampu.
7) Pola persepsi diri
Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
8)Pola peran – hubungan
Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain (ibu/ayah)/tidak mandiri.
9) Pola seksualitas/reproduktif
Anak biasanya dekat dengan ibu daripada ayah.
10) Pola koping – toleransi stres
Menarik diri, pasif.
PEMERIKSAAN FISIK
1. • Demam: sub fibril, fibril (40 – 41oC) hilang timbul.
• Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang/ mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
• Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
• Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura.
• Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan kering diwaktu malam hari.
• Pada tahap dini sulit diketahui.
• Ronchi basah, kasar dan nyaring.
• Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi suara limforik.
• Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
• Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak)
2. Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
3. Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal dan sub mandibula.
4. Kadang terjadi abses.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENGOBATAN
1. Uji tuberkulin
 uji tuberkulin +.
® hipersensitifitas tipe lambat ® imunitas seluler ®Infeksi TB
2. Foto rontgent
Rutin: foto pada Rö paru.
Atas indikasi: tulang, sendi, abdomen.
Rontgent paru tidak selalu khas.
3. Gambaran klinis:
• Tanpa gejala.
• Gejala umum/tidak spesifik.
- Demam lama.
- BB turun/tidak naik.
- Malnutrisi.
- Malaise.
- Batuk lama.
- Diare berlanjut/berulang.
• Gejala spesifik, sesuai organ yang terkena.
Kelenjar: kelenjar membesar skrofulodivina.
Respiratorik: batuk, sesak, mengi.
Neurologik: kejang, kaku kuduk.
Ortopedik: pincang, gibbus.
GI: diare berlanjut.
4. Pemeriksaan mikrobiologis
- Bakteriologis
Memastikan TB.
Hasil normal: tidak menyingkirkan diagnosa TB.
Hasil +: 10 – 62% dengan cara lama.
Cara : cara lama radio metrik (Bactec); PCK.
5. Pemeriksaan darah tepi
Tidak khas.
LED dapat meninggi.
6. Pemeriksaan patologik anatomik
Kelenjar, hepar, pleura; atas indikasi.
7. Sumber infeksi
Adanya kontak dengan penderita TB menambah kriteria diagnosa.
8. Lain-lain
- Uji faal paru.
- Bronkoskopi.
- Bronkografi.
- Serologi.
- dll.
PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Penatalaksanaan
Ø Penyuluhan
Ø Pencegahan
Ø Pemberian obat-obatan
1. OAT ( oabat anti tuberkulosa )
2. Bronchodilator
3. Expectoran
4. OBH
5. Vitamin
6. Antibiotik
Ø Operasi untuk mengeluarkan kelenjar yang membesar.
TAHAP TUMBUH KEMBANG ANAK
À Menurut Soetjiningsih:
Masa pra sekolah usia 1-6 tahun.
À Menurut Donna L. Wong:
Masa anak-anak awal 1-6 tahun.
Pra sekolah: 3-6 tahun.
Tahap pertumbuhan cepat:
Pertumbuhan cepat pada masa pra-adolesen. Terdapat pertumbuhan fisik/jasmani yang sangat pesat, dimana tubuh anak menjadi cepat besar, BB naik dengan pesat serta panjang badan (PB) juga bertambah dengan cepat, anak makan dengan banyak serta aktifitas bertambah. Pertumbuhan tampaknya mengikuti satu irama tertentu dan berlangsung secara bergantian.
Tahap pertumbuhan otak
• Umur 5 tahun: sangat lambat (Morley, D: 1986).
Tahap perkembangan psikoseksual menurut Sigmund Freud:
Suatu proses pertambahan pematangan fungsi struktur tubuh serta kejiwaan yang menimbulkan dorongan untuk mencari stimulasi dan kesenangan secara umum termasuk didalamnya dorongan untuk menjadi dewasa.
• Fase oedipal/falik (3-5 tahun)
- Mulai melakukan rangsangan autoerotik.
- Bermain dengan anak berjenis kelamin berbeda.
- Aanak pasca oedipal berkelompok dengan sejenis.
Oedipus komplek: anak lelaki dekat ibunya karena perasaan cinta/tertarik.
Elektra komplek : anak perempuan dekat ayahnya karena perasaan cinta/ tertarik.
• Fase laten (5 – 12 tahun)
- Masuk ke permulaan fase pubertas.
- Periode terintegrasi.
- Fase tenang.
- Dorong libido mereda sementara.
- Erotik zona berkurang.
- Anak tertarik dengan per group (kelompok sebaya).
Tahap perkembangan manusia ditinjau dari aspek psikososial menurut Erik Erickson:
Dibagi 8 tahap perkembangan mulai dari lahir sampai usia tua:
- Tahap ke-3; krisis perkembangan : initiative vs guilt (inisiatif vs perasaan bersalah; nama tahap: pre school/usia pra sekolah.
- 4 – 6 tahun:
Kepercayaan yang diperoleh anak tidak diartikan bahwa ia diperbolehkan memiliki inisiatif dalam belajar mencari pengalaman-pengalaman baru secara aktif seperti bagaimana dan mengapa tentang sesuatu sehingga anak dapat memperluas aktifitasnya, jika anak dilarang dan diomeli/dicela untuk usaha itu yang mencari pengalaman baru, anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang, keterampilan motorik dan bahasanya.
DIAGNOSA PERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko :
Ø Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
Ø Kerusakan membran alveolar kapiler
Ø Sekret yang kental
Ø Edema bronchial
2. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :
Ø Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap
Ø Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
Ø Malnutrisi
Ø Terkontaminasi oleh lingkungan
Ø Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman
3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, berhubungan dengan :
Ø Tidak ada yang menerangkan
Ø Interpretasi yang salah, tidak akurat
Ø Informasi yang didapat tidak lengkap
Ø Terbatasnya pengetahuan / kognitif
4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
Ø Kelelahan
Ø Batuk yang sering, adanya produksi sputum
Ø Dyspnoe
Ø Anoreksia
Ø Penurunan kemampuan finansial (keluarga).
INTERVENSI KEPERAWATAN DAN RASIONAL
Dx. I.
Independen
1. Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal. Meningkatnya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan fatique.
TB paru dapat menyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-paru yang berasal dari bronchopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural efusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku.
Akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan
3. Demontrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir disiutkan, terutama pada klien dengan fibrosis atau kerusakan parenkhim.
Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan nafas dan mengurangi residu dari paru-paru
4. Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktivitas
Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi
Kolaborasi
5. Monitor BGA
Menurunnya oksigen ( PaO2 ), saturasi atau meningkatnya PaCo2 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih adekuat atau perubahan therapi.
6. Memberikan oksigen tambahan
Membantu mengoreksi hipoksemia yang secara sekunder mengurangi ventilasi dan menurunnya tegangan paru.
Dx. II.
Independen
1. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui bronkhus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau sistem limfe dan potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi.
Membantu klien agar klien mau mengerti dan menerima terhadap terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
2. Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Memberitahukan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi pencegahan.
3. Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
4. Gunakan masker setap melakukan tindakan
Untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
5. Monitor temperatur
Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
6. Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani
Periode menular dapat terjadi hanya 2 – 3 hari setelah permulaan kemoterapi tetapi dalam keadaan sudah terjadi kavitas atau penyakit sudah berlanjut sampai tiga bulan.
Kolaborasi
7. Pemberian terapi untuk anak
a. INH, Etambutol, Rifampisin
INH adalah obat pilihan bagi penyakit TB primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan etambutol untuk 2 bulan pertama.
b. Pyrazinamid ( PZA ) / aldinamide, Paraamino Salicyl ( PAS ), Sycloserine, Streptomysin
Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
c. Monitor sputum BTA
Klien dengan 3 kali pemeriksaan BTA negatif, terapi diteruskan sampai batas waktu yang ditentukan.
Dx. III.
Independen
1 Kaji kemampuan belajar klien misalnya : tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien untuk belajar, seberapa banyak yang telah diketahui, media yang tepat dan siapa yang dipercaya.
Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada sebatasmana kemampuan klien.
2 Mengidentifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya : hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan nafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
Mengindikasikan perkembangan penyakit atau efek samping dari pengobatan yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
3 Menekankan pentingnya asupan diet TKTP dan intake cairan yang adekuat.
Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan yang memadai membantu mengencerkan dahak.
4 Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan keluarga misalnya : jadwal minum obat.
Informasi tertulis dapat mengingatkan klien tentang informasi yang telah diberikan. Pengulangan informasi dapat membantu mengingatkan klien.
5 Menjelaskan dosis obat, frekwensi, tindakan yang diharapkan dan perlunya therapi dalam jangka waktu lama. Mengulangi penyuluhan mengenai potensial interaksi antara obat yang diminum dengan obat / subtansi lain.
Meningkatkan partisipasi klien dan keluarga untuk mematuhi aturan therapi dan mencegah terjadinya putus obat.
6 Jelaskan tentang efek samping dari pengobatan yang mungkin timbul, misalnya : mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
Dapat mencegah keraguan terhadap pengobatan dan meningkatkan kemampuan klien untuk menjalani terapi.
7 Merujuk pemeriksaan mata saat memulai dan menjalani therpi etambutol.
Efek samping utama etambutol adalah menurunkan ketajaman penglihatan dan juga mengurangi kemampuan untuk mempersepsikan warna hijau.
8 Memberikan dorongan pada klien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan/keprihatinannya serta memberikan jawaban yang jujur atas pertayaannya. Jangan berusaha menyangkal pernyataanya.
Memberikan kesempatan untuk mengubah pandangannya yang salah dan meredakan kecemasannya. Penyangkalan terhadap perasaannya akan memperburuk mekanisme koping yang merugikan kesehatannya.
9 Review tentang cara penularan TB ( misalnya : umumnya melalui inhalasi udara yang mengandung kuman, tapi mungkin juga menular melalui urine jika infeksinya mengenai sistem urinaria ) dan resiko kambuh kembali.
Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan / kambuh kembali. Komplikasi yang berhubungan dengan tidak adekuatnya penyembuhan TB meliputi : formasi abses, empisema, pneumothorak, fibrosis, efusi pleura, empyema, bronkhiektasis, hemoptisis, ulcerasi GI, fistula bronkopleural, TB laring, dan penularan kuman.
Dx. IV.
Independen
Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang dianjurkan :
1. Catat turgor kulit
2. Timbang berat badan
3. Integritas mukosa mulut, kemampuan dan ketidakmampuan menelan, adanya bising usus, riwayat nausea, vomiting atau diare.
Digunakan untuk mendefinisikan tingkat masalah dan intervensi
4 Mengkaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai
Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet klien.
5 Meonitor intake dan output secara periodik.
Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
6 Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Monitor volume, frekwensi, konsistensi BAB.
Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
7 Anjurkan bedrest
Membantu menghemat energi khususnya terjadinya metabolik saat demam.
8 Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi
Mengurangi rasa yang tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan untuk pengobatan yang dapat merangsang vomiting.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. EGC. Jakarta.
Doengoes, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta.
IDAI dan PP IDAI UKK Pulmonologi. 2000. Tatalaksana Mutakhir Penyakit Respiratorik Pada Anak; Dalam Temu Ahli Respirologi Anak-Anak. Jakarta.
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak; Volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. 1999. Ilmu Penyakit Dalam; Jilid I. FKUI. Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. FKUI. Jakarta.
Defenisi
Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis.
Patofisiologi
Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir melalui sub arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan subarachnoid.
Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melaui aliran darah di dalam pembuluh darah otak. Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel. Eksudat yang dibentuk akan menyebar, baik ke kranial maupun ke saraf spinal yang dapat menyebabkan kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan sumbatan aliran normal cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus.
Etiologi
Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme, tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sum-sum tulang belakang. Seperti disebutkan diatas bahwa meningitis itu disebabkan oleh virus dan bakteri, maka meningitis dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : meningitis purulenta dan meningitis serosa.
Meningitis Bakteri
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah haemofilus influenza, Nersseria,Diplokokus pnemonia, Sterptokokus group A, Stapilokokus Aurens, Eschericia colli, Klebsiela dan Pseudomonas. Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.
Meningitis Virus
Tipe dari meningitis ini sering disebut aseptik meningitis. Ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti; gondok, herpez simplek dan herpez zoster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh koteks cerebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respon dari jaringan otak terhadap virus bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.
Pencegahan
Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.
Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius.
Pengkajian Pasien dengan meningitis
Riwayat penyakit dan pengobatan
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Setelah itu yang perlu diketahui adalah status kesehatan masa lalu untuk mengetahui adanya faktor presdiposisi seperti infeksi saluran napas, atau fraktur tulang tengkorak, dll.
Manifestasi Klinik
• Pada awal penyakit, kelelahan, perubahan daya mengingat, perubahan tingkah laku.
• Sesuai dengan cepatnya perjalanan penyakit pasien menjadi stupor.
• Sakit kepala
• Sakit-sakit pada otot-otot
• Reaksi pupil terhadap cahaya. Photofobia apabila cahaya diarahkan pada mata pasien
• Adanya disfungsi pada saraf III, IV, dan VI
• Pergerakan motorik pada masa awal penyakit biasanya normal dan pada tahap lanjutan bisa terjadi hemiparese, hemiplegia, dan penurunan tonus otot.
• Refleks Brudzinski dan refleks Kernig (+) pada bakterial meningitis dan tidak terdapat pada virus meningitis.
• Nausea
• Vomiting
• Demam
• Takikardia
• Kejang yang bisa disebabkan oleh iritasi dari korteks cerebri atau hiponatremia
• Pasien merasa takut dan cemas.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa.
Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal.
Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Pemeriksaan Radiografi
CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
Pengobatan
Pengobatab biasanya diberikan antibiotik yang paling sesuai.
Untuk setiap mikroorganisme penyebab meningitis :
Antibiotik Organisme
Penicilin G
Gentamicyn
Chlorampenikol Pneumoccocci
Meningoccocci
Streptoccocci
Klebsiella
Pseudomonas
Proleus
Haemofilus Influenza Terapi TBC
• Streptomicyn
• INH
• PAS Micobacterium Tuber culosis
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah :
Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan
• Pasien kembali pada,keadaan status neurologis sebelum sakit
• Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris
Kriteria hasil
• Tanda-tanda vital dalam batas normal
• Rasa sakit kepala berkurang
• Kesadaran meningkat
• Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.
Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
Monitor intake dan output hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadra, nausea yang menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava
Kolaborasi
Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema cerebral
Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika.
Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler.
Menurunkan edema serebri
Menurunka metabolik sel / konsumsi dan kejang.
Sakit kepala sehubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
Tujuan
Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol
Kriteria evaluasi
• Pasien dapat tidur dengan tenang
• Memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
Menurukan reaksi terhadap rangsangan ekternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien untuk beristirahat
Kompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit / disconfort
Kolaborasi
Berikan obat analgesik
Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. Catatan : Narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurologis sehingga sukar untuk dikaji.
Potensial terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran
Tujuan:
Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien. Melindungi pasien bila kejang terjadi
Pertahankan bedrest total selama fae akut Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
• Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders, 1991
• Kapita Selekta Kedokteran FKUI, Media Aesculapius, 1982
• Brunner / Suddarth, Medical Surgical Nursing, JB Lippincot Company, Philadelphia, 1984
A. Batasan-Batasan
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
• Timbul pada hari kedua-ketiga
• Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
• Ikterus hilang pada 10 hari pertama
• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
D. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
• Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
E . Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Diagram Metabolisme Bilirubin
ERITROSIT
HEMOGLOBIN
HEM
GLOBIN
BESI/FE
BILIRUBIN INDIREK
( tidak larut dalal air )
Terjadi pada
Limpha, Makofag
BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN ALBUMIN
Terjadi dalam
plasma darah
MELALUI HATI
BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK
( larut dalam air )
Hati
BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU
Melalui
Duktus Billiaris
KANDUNG EMPEDU KE DEUDENUM
BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FECES
F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
G. Penata Laksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 – 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Kadar Bilirubin Serum berkala.
• Darah tepi lengkap.
• Golongan darah ibu dan bayi.
• Test Coombs.
• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam sesudah lahir.
• Biasanya Ikterus fisiologis.
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
• Polisetimia.
• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan darah tepi.
• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
• Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
• Sepsis.
• Dehidrasi dan Asidosis.
• Defisiensi Enzim G6PD.
• Pengaruh obat-obat.
• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
• Karena ikterus obstruktif.
• Hipotiroidisme
• Breast milk Jaundice.
• Infeksi.
• Hepatitis Neonatal.
• Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan darah tepi.
• Skrining Enzim G6PD.
• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.
Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)
2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat
Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
 C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.
° – 37°Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5
3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare
Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan
Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.
5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan
Intervensi :
Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.
6. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
Intervensi :
Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
7. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.
Aplikasi Discharge Planing.
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan
• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .
• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
1. Cara memandikan bayi dengan air hangat  celsius)
°(37 -38
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Perawatan sirkumsisi
10. Imunisasi
11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
• letargi ( bayi sulit dibangunkan )
• demam ( suhu >  celsius)
°37
• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
• diare ( lebih dari 3 x)
• tidak ada nafsu makan.
12. Keamanan
• Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
• Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
• Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
• Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara – saudaranya.
RENCANA PEMULANGAN POST PARTUM
(DISCHARGE PLANNING)
1. Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini sistem perawatan dan pengobatan telah berubah. Perawatan klien di rumah sakit saat ini diusahakan untuk mengurangi biaya perawatan dan memberi kesempatan pada pasien lain yang lebih membutuhkan. konsekuensinya, tim kesehatan harus membantu klien benar-benar memahami status kesehatannya dan harus mampu menyiapkan klien merawat dirinya sendiri di rumah atau di masyarakat.
Pendekatan perawatan klien selama post partum juga berubah. Klien tidak dianggap lagi orang sakit, tetapi dianggap suatu proses yang alami dan mereka dianggap sehat. Oleh karena itu klien harus secepatnya mobilisasi dan mandiri dalam merawat dirinya sendiri. Waktu perawatan juga berubah, menjadi lebih singkat, bisa hanya 24 jam sampai 72 jam saja. Dalam waktu yang sesingkat mungkin, klien dan keluarganya harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan sehingga klien mampu merawat dirinya sendiri.
Perawatan yang diberikan merupakan usaha kolaborasi yang melibatkan ibu dan keluarga, perawat, dokter dan tim kesehatan lainnya, untuk mencapai kesehatan yang optimal. Untuk semua alasan di atas maka rencana pemulangan pasien post partum sangat penting karena :
1. Memudahkan pemantauan kesehatan setelah pasien pulang ke rumah.
2. Membuat pasien lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya.
3. Berkurangnya biaya pengobatan dan perawatan, tempat tidur dapat diisi pasien lain
4. Penggunaan rencana pemulangan tertulis sangat efektif untuk pedoman pengajaran dan evaluasi serta menjadi sumber pengetahuan ibu dan keluarga.
Bagi klien post partum, pemulihan kesehatan setelah melahirkan relatif singkat dan dianggap suatu proses sehat. Persepsi ini sering kali membuat tim kesehatan berpendapat bahwa ibu dan keluarga tidak mempunyai kebutuhan dan pelatihan yang khusus, ditambah lagi ada anggapan bahwa keluarga sedang berbahagia dan siap menerima bayinya. Anggapan ini tentunya tidak benar karena setiap keluarga post pertum mempunyai kebutuhan dan masalah tertentu, ibu-ibu primipara bingung dalam merawat dan beradaptasi dengan bayi dan peran barunya, sedangkan ibu-ibu multipara mungkin bingung dengan masalah keuangan, anak-anak yang lain serta berhubungan dengan datangnya anggota baru. Jadi pendekatan dan perhatian dan sikap tim kesehatan, harus sama dengan kedua kelompok ini. Pada masa perawatan post partum di rumah sakit inilah mereka menerima pengajaran dan bimbigan untuk mengantisipasi perubahan fisik dan suasana dalam keluarga di rumah nanti.
Karena kebanyakan ibu dirawat dalam waktu singkat, maka penting bagi perawat mempersiapkan klien secara sistematis. Seringkali digunakan paduan format-format. Sebelum ibu pulang sebaiknya rencana pemulangan sudah dipersiapkan dan perawat masih tetap menyediakan waktu untuk penguatan dan evaluasi pengetahuan, ketrampilan, dan kondisi mental seluruh keluarga. Mengingat luasnya dan kompleksnya perawatan terhadap klien post partum, maka kelompok mambatasi permasalahannya tentang pendidikan kesehatan pada klien post partum.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada perawat dan tenaga kesehatan lainnya mengenai rencana pemulangan klien post partum, hal ini akan diuraikan dalam makalah.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Rencana Pemulangan
Rencana Pemulangan (RP) merupakan bagian pelayanan perawatan, yang bertujuan untuk memandirikan klien dan mempersiapkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional bayi bila pulang.
Waktu yang terbaik untuk memulai rencana pulang adalah hari pertama masuk rumah sakit. Klien belum dapat dipulangkan sampai dia mampu melakukan apa yang diharapkan darinya ketika di rumah. Oleh karena itu Rencana Pemulangan harus didasarkan pada :
1. Kemampuan klien untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan seberapa jauh tingkat ketergantungan pada orang lain
2. Ketrampilan, pengetahuan dan adanya anggota keluarga atau teman
3. Bimbingan perawat yang diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan, pendidikan, dan pengobatan.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan proses berencana untuk memulangkan klien adalah :
1. Menentukan klien yang memerlukan rencana pulang.
2. Waktu yang terbaik untuk memulai rencana pulang.
3. Staf yang terlibat dalam rencana pulang.
4. Cara yang digunakan dan evaluasi efektifitas dari rencana pulang.
Beberapa karakteristik yang harus dipertimbangkan dalam membuat Rencana Pemulangan (RP) adalah :
1. Berfokus pada klien. Nilai, keinginan dan kebutuhan klien merupakan hal penting dalam perencanaan. Klien dan keluarga harus berpartisipasi aktif dalam hal ini.
2. Kebutuhan dasar klien pada waktu pulang harus diidentifikasi pada waktu masuk dan terus dipantau pada masa perawatan
3. Kriteria evaluasi menjadi panduan dalam menilai keberhasilan implementasi dan evaluasi secara periodik.
4. Rencana pemulangan suatu proses yang melibatkan tim kesehatan dari berbagai disiplin ilmu.
5. Klien harus membuat keputusan yang tertulis mengenai rencana pemulangan.
Rencana penyuluhan didasarkan pada :
1. Kebutuhan belajar orang tua.
2. Prinsip belajar mengajar.
3. Mengkaji tingkat pengetahuan dan kesiapan belajar.
• Metode belajar
• Kondisi fisik dan psikologis orang tua
4. Latar belakang sosial budaya untuk proses belajar mengajar
• Tekankan bahwa merawat bayi bukan hanya kewajiban wanita
5. Lamanya bayi dan ibu tinggal di rumah sakit
• “Early discharge” 6 – 8 jam I, dimana informasi penting harus diberikan serta follow up.
Cara-cara penyampaian Rencana Pemulangan adalah :
1. Gunakan bahasa yang sederhana, jelas dan ringkas.
2. Jelaskan langkah-langkah dalam melaksanakan suatu perawatan.
3. Perkuat penjelasan lisan dengan instruksi tertulis
4. Motivasi klien untuk mengikuti langkah-langkah tersebut dalam melakukan perawatan dan pengobatan.
5. Kenali tanda-tanda dan gejala komplikasi yang harus dilaporkan pada tim kesehatan.
6. Berikan nama dan nomor telepon yang dapat klien hubungi.
Dasar-dasar rencana penyuluhan
1.  celsius)
°Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38
• membersihkan mata dari dalam ke luar
• membersihkan kepala bayi (bayi masih berpakaian lalu keringkan)
• buka pakaian bayi, beri sabun dan celupkan ke dalam air.
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
• bersihkan dengan alkohol lalu kompres betadin
• tali pusat akan tanggal pada hari 7 – 10
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5. Cara-cara mengukur suhu
6. Memberi minum
7. Pola eliminasi
8. Perawatan sirkumsisi
9. Imunisasi
10. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
• letargi ( bayi sulit dibangunkan )
• demam ( suhu >  celsius)
°37
• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
• diare ( lebih dari 3 x)
• tidak ada nafsu makan.
Rencana pemulangan ditujukan pada :
IBU
Dalam rencana pemulangan yang perlu dianjurkan antara lain :
1. Pernapasan dada
2. Bentuk tubuh, lumbal,dan fungsi otot-otot panggul
3. Latihan panggul, evaluasi, gambaran dan ukuran yang menyenangkan
4. Latihan penguatan otot perut
5. Posisi nyaman untuk istirahat
6. Permudahan gerakan badan dari berdiri ke jalan
7. Tehnik relaksasi
8. Pencegahan; jangan mengangkat berat, melakukan sit up secara berlebihan.
Daftar kegiatan sangat membantu kondisi post partum kembali dalam keadaan sehat. Saat ibu kembali ke rumah, secara bertahap akan kembali melakukan aktivitas normal. Pekerjaan rumah akan membantu mencegah kekakuan otot-otot secara umum tetapi tidak akan melemahkan kekuatan otot (Blankfield, 1967).
Ketika membantu klien untuk memilih program latihan perawat seharusnya memperingatkan akan perubahan muskuloskeletal yang akan kembali normal pada 6 – 8 minggu (Danforth,1967). Selama periode ini, ligamen-ligamen akan lunak dan saling terpisah oleh karena itu latihan-latihan memerlukan keregangan dan kekuatan otot-otot yang berlebihan seperti halnya aerobik, lari, dan lai-lain harus dihindari selama periode ini untuk mencegah ketegangan. Aktifitas yang aman seperti berjalan, berenang dan bersepeda sangat dianjurkan. Seorang wanita dapat memulai latihan atau Yoga 2 minggu setelah melahirkan pervaginam atau 4 – 6 minggu setelah mengalami operasi caesar.
Secara ideal ini harus memiliki seorang instruktur yang berpengalaman yang bertanggung jawab selama melatih ibu post partum. Ibu biasanya mendapatlan kesulitan dalam mengatur waktu untuk latihan atau melakukan tehnik relaksasi di rumah. Perawat harus membantu mendorong ibu untuk istirahat ketika bayi sedang tidur dan mencoba untuk tidak melakukan pekerjaan selama waktu itu.
Wanita biasanya kurang sabar dalam hal merawat tubuhnya . Perawat harus mengingatkan bahwa selama masa menyusui membutuhkan ekstra lemak dari tubuhnya, oleh karena itu nutrizi dan gizi yang baik sangat dibutuhkan. Perawat harus meyakinkan ibu bahwa waktu yang dibutuhkan seorang wanita untuk kembali pada tubuh yang normal setelah persalinan sangan bervariasi dan prosesnya dapat berlangsung 6 – 12 bulan.
Selama masa nifas ibu perlu memperhatikan :
Pemenuhan rasa nyaman
Hari I
Hari II
Pernapasan
Latihan
Hari I
Permulaan
Hari II
tambahan
Perineum kompres dingin. Posisi terlentang, Sim, telungkup; semua dengan bantal yang menyokong kepala, kedua lutut dan pelvis hanya untuk prone (telungkup)
Gunakan BH yang menyangga, lakukan rendam hangat (daerah perineum), lanjutkan latihan Kegel, posisi berbaring atau telungkup (2x sehari selama 30 – 60 menit), ambulansi.
Pernafasan ke arah dada dan toraks
Pengembalian posisi pelvis :
Pengerutan dasar pelvis 1-3-5 detik 5 kali / jam
Pengerutan abdomen 5 – 10 detik 5 kali / 2 x sehari
Pergerutan abdomen dan
dasar pelvis 3-5-10 detik 5 x / 2x sehari
Pengerutan abdominal,
dasar panggul dan bokong 3 – 5- 10 detik 5 x /2x sehari
Ekstremitas bagian bawah
Menutup dan membuka lutut 10 x / jam
Memutar lutut 10 x / jam
Mengaktifkan quatriseps 5 – 10 detik, 10 x / jam
Abdominal / pelvis
Mengkaji dasar pelvis 1x tiap hari
Mengangkat pinggul 5 detik , 5 x / 2x sehari
Gerakan bersepeda dengan terus-
menerus terlentang 5x / 2x sehari
Mengangkat bokong 5 detik, 5 x /2 x sehari
Mengangkat kepala 5 detik, 5 x / 2x sehari
Instruksi masa nifas adalah :
Bekerja
Ibu seharusnya menghindari kerja berat (misalnya mengangkat / membawa beban) pada 3 minggu pertama. Pada ibu-ibu yang mempunyai pengertian berbeda tengan kerja berat dapat mendiskusikan dengan ibu-ibu yang lain. Perawat dapat membantu mengidentifikasikan pengertian dari kerja berat.
Biasanya dianjurkan tidak bekerja selama 3 minggu ( lebih baik 6 minggu), bukan saja untuk kesehatan tetapi juga untuk mendapatkan kesempatan lebih dekat dengan bayinya.
Istirahat
Ibu sebaiknya mengusahakan bisa tidur siang dan tidur malam yang cukup. Ibu biasanya tidur siang selagi bayi tidur dan minta suami/keluarga menggantikan tugas-tugas yang ada. Mintalah keluarga / suami untuk membantu tugas-tugas rumah tangga.
Kegiatan / aktifitas / latihan
Pada minggu pertama ibu seharusnya memulai latihan berjalan setahap demi setahap.
Pada minggu ke dua, jika lokea normal dapat memulai latihan aktifitas lain yang akan direncanakan seperti mencuci popok setiap hari walaupun dengan memakai mesin cuci, naik turun tangga untuk melihat bayinya atau berada setiap saat disamping bayinya. Ibu seharusnya melanjutkan senam nifas di rumah seperti halnya sit up dan mengangkat kaki.
Kebersihan
Ibu harus tetap bersih, segar dan wangi. Merawat perineum dengan baik dengan menggunakan antiseptik (PK / Dethol) dan selalu diingat bahwa membersihkan perineum dari arah depan ke belakang.
Coitus
Coitus lebih segera setelah lokea menjadi alba dan bila ada episiotomi sudah membaik / sembuh ( minggu 3 setelah persalinan)
Sel-sel vagina mungkin tidak setebal sebelumnya karena keseimbangan hormon prepregnansi belum kembali secara lengkap. Gunakan kontrasepsi busa atau jeli akan membantu kenyamanan dan pengaturan posisi yang bisa mengurangi penekanan atau dispariunia.
Kontrasepsi
Jika ibu menginginkan memakai IUD, dapat dipasang segera setelah persalinan atau chekup post partum yang pertama. Jenis kontrasepsi yang memakai diafragma harus pada minggu ke 6 , kontrasepsi oral dimulai antara 2 -3 minggu post partum sampai kembali pada chekup berikutnya. Ibu dan pasangannya dapat menggunakan kombinasi antara jelly yang mengandung spermatid dengan kondom lebih dapat mencegah pembuahan. Konsultasi dalam memilih alat kontrasepsi harus kepada tenaga kesehatan yang berkopeten untuk mencegah kesalahan informasi.
BAYI
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi (seperti rangsangan, latihan, dan kotak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perencanaan pulang .
Yang perlu diperhatikan adalah :
Temperatur / suhu
1. Sebab-sebab penurunan suhu tubuh
2. Catat gejala-gejala yang timbul seperti kelemahan, bersin, batuk dll.
3. Cara-cara mengurangi / menurunkan suhu tubuh seperti kompres dingin, mencegah bayi terkena sinar matahari terlalu lama, dan lain-lain
4. Gunakan lampu penghangat / selimut tambahan
5. Ukur suhu tubuh
Pernapasan
1. Perubahan frekwensi dan irama napas
2. Refleks-refleks seperti; bersin, batuk.
3. Pencegahan terhadap asap rokok, infeksi orang terkena infeksi saluran napas
4. Gejala-gejala pnemonia aspirasi
Eliminasi
1. Perubahan warna dan kosistensi feses
2. Perubahan warna urin
Keamanan
1. Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
2. Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
3. Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
4. Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara – saudaranya.
ADAPTASI FISIOLOGIS PADA MASA POST PARTUM/NIFAS
Sebelum membahas tentang perubahan-perubahan pada masa nifas baik fisiologis maupun psikologis, maka kelompok akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian nifas.
Masa nifas adalah suatu masa dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikologis terhadap proses melahirkan yang lamanya kurang lebih 6 minggu. Selain itu, pengertian masa nifas adalah masa mulainya persalinan sampai pulihnya alat-alat dan anggota badan yang berhubungan dengan kehamilan / persalinan. (Ahmad Ramli. 1989).
Dari dua pengertian di atas kelompok menyimpulkan bahwa masa nifas adalah masa sejak selesainya persalinan hingga pulihnya alat-alat kandungan dan anggota badan serta psikososial yang berhubungan dengan kehamilan / persalinan selama 6 minggu.
Dalam proses adaptasi pada masa post partum terdapat 3 (tiga) periode yang meliputi “immediate puerperium” yaitu 24 jam pertama setelah melahirkan, “ early puerperium” yaitu setelah 24 jam hingga 1 minggu, dan “late puerperium” yaitu setelah 1 minggu sampai dengan 6 minggu post partum.
Perubahan fisiologis terjadi sejak hari pertama melahirkan. Adapun perubahan fisik yang terjadi adalah :
Sistem kardiovaskuler
Sebagai kompensasi jantung dapat terjadi brandikardi 50 – 70 x/menit, keadaan ini dianggap normal pada 24 – 48 jam pertama. Perubahan suhu  Celsius sebagai akibat pemakaian
°yang meningkat sampai dengan 38  tenaga dan banyak berkeringat saat melahirkan. Peningkatan suhu tubuh  Celsius menunjukan adanya tanda-tanda infeksi pada post°lebih dari 38  partum seperti mastitis, endometritits. Penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan oleh refleks ortostatik hipertensi.
Diaporesis Post partum
Klien dapat mengeluarkan keringat yang banyak disertai perasaan menggigil. Perasaan ini terjadi karena vasomotor yang tidak stabil.
Perubahan sistem urinarius
Selama masa persalinan trauma pada kandung kemih dapat mengakibatkan edema dan mengurangi sensitifitas kandung kemih. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat peregangan yang berlebihan dan pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas.
Bila klien lebih dari dua hari tidak dapat buang air kecil, maka keadaan ini merupakan hal yang tidak normal. Protein urin pada hari kedua adalah normal, karena kebutuhan protein yang dikatalisis involusi uteri meningkat. Bila ini berlangsung sampai dengan hari ke tujuh, menandakan adanya gejala preeklamsi.
Perubahan sistem gastro intestinal
Keadaan gastro intestinal kembali berfungsi ke keadaan semula setelah satu minggu post partum. Konstipasi terjadi akibat penurunan motilitas usus, kehilangan cairan tubuh dan rasa tidak nyaman di daerah perineum, penggunaan enema pada kala I dan penurunan tonus otot abdominal.
Keadaan muskuloskeletal
Pada masa kehamilan otot abdomen meregang sedemikian rupa dikarenakan pembesaran uterus yang mengakibatkan otot abdomen melemas dan kendor sehingga teraba bagian otot-otot yang terpisah disebut diastasis recti abdominis.
Perubahan sisten endokrin
Perubahan sistem endokrin disini terjadi penurunan segera kadar hormon estrogen dan progesteron. Hormon prolaktin pada masa laktasi akan meningkat sebagai respon stimulasi penghisapan puting susu ibu oleh bayi. Pada wanita yang tidak menyusui hormon estrogen dapat meningkat dan merangsang pematangan folikel. Untuk itu menstruasi dapat terjadi 12 minggu post partum, pada klien menyusui dapat lebih lama (36 minggu).
Perubahan pada payudara
Payudara dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik disekitar payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit. Pengeluaran air susu ke duktus lactiferus oleh kontraksi sel-sel mioepitel tergantung pada sekresi oksitosin dan rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi.
Perubahan uterus
Involusi uterus terjadi segera setelah melahirkan. Tinggi fundus uteri pada saat plasenta lahir 1 – 2 jam setinggi 1 jari di atas pusat, 12 jam setelah melahirkan tinggi fundus uteri pertengahan pusat dan sympisis, pada hari ke sembilan uterus tidak teraba lagi. Bersama involusi uterus ini teraba terdapat pengeluaran lochea. Lochea pada hari ke 1 – 3 berwarna merah muda (rubra), pada hari ke 4 – 9 warna coklat / pink (serosa), pada hari ke- 9 warna kuning sampai putih (alba).
Perubahan dinding vagina
Segera setelah melahirkan dinding vagina tampak edema, memar serta rugae atau lipatan-lipatan halus tidak ada lagi.
Pada daerah perineum akan tampak goresan akibat regangan pada saat melahirkan dan bila dilakukan episiotomi akan menyebabkan rasa tidak nyaman.
ADAPTASI PSIKOLOGI PADA MASA POST PARTUM
I. Adaptasi Psikologi Ibu
Menjadi orang tua merupakan suatu krisis tersendiri dan harus melewati masa transisi. Masa transisi pada post partum yang harus diperhatikan perawat adalah :
1. Honeymoon adalah fase setelah anak lahir dan dan terjadi kontak yang lama antara ibu, ayah, anak. Kala ini dapat dikatakan sebagai psikis honeymoon yang memerlukan hal-hal romantis masing-masing saling memperhatikan anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.
2. “ Bonding Attachment ” atau ikatan kasih
• Dimulai sejak dini begitu bayi dilahirkan. “Bonding” adalah suatu istilah untuk menerangkan hubungan antara ibu dan anak. Sedangkan “attachment” adalah suatu keterikatan antara orang tua dan anak. Peran perawat penting sekali untuk memikirkan bagaimana hal tersebut dapat terlaksana. Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ikatan kasih tersebut.
Perubahan psikologis pada klien post partum akan dikuti oleh perubahan psikologis secara simultan sehingga klien harus beradaptasi secara menyeluruh.
Menurut klasifikasi Rubin terdapat tiga tingkat psikologis klien setelah melahirkan adalah :
“Taking In”
Suatu periode dimana ibu hanya berorientasi pada kebutuhan diri sendiri, tingkah laku klien pasif dengan berdiam diri, tergantung pada orang lain. Ibu belum mempunyai inisiatif untuk kontak dengan bayinya. Dia sangat membutuhkan orang lain untuk membantu, kebutuhannya yang utama adalah istirahat dan makan. Selain itu ibu mulai menerima pengalamannya dalam melahirkan dan menyadari bahwa hal tersebut adalah nyata. Periode ini berlangsung 1 – 2 hari.
Menurut Gottible, ibu akan mengalami “proses mengetahui/menemukan “ yang terdiri dari :
1. Identifikasi
Ibu mengidentifikasi bagian-bagian dari fisik bagyi, gambaran tubuhnya untuk menyesuaikan dengan yang diharapkan atau diimpikan.
2. Relating (menghubungkan)
Ibu menggambarkan anaknya mirip dengan anggota keluarga yang lain, baik dari tingkah lakunya dan karakteristiknya.
3. Menginterpretasikan
• Ibu mengartikan tingkah laku bayi dan kebutuhan yang dirasakan.
Pada fase ini dikenal dengan istilah “ fingertip touch”
“ Taking Hold “
Periode dimana terjadi perpindahan dari keadaan ketergantungan keadaan mandiri. Perlahan-lahan tingkat energi klien meningkat merasa lebih nyaman dan mulai berfokus pada bayi yang dilahirkan. Klien lebih mandiri, dan pada akhirnya mempunyai inisiatif untuk merawat dirinya, mampu untuk mengontrol fungsi tubuh, fungsi eliminasi dan memperhatikan aktifitas yang dilakukannya setiap hari. Jika ibu merawat bayinya, maka ia harus memperhatikan kualitas dan kuantitas dari produksi ASI. Selain itu, ibu seharusnya tidak hanya mengungkapkan keinginannya saja akan tetapi harus melakukan hal tersebut, misalnya keinginan berjalan, duduk, bergerak seperti sebelum melahirkan. Disini juga klien sangat antusias merawat bayinya. Pada fase ini merupakan saat yang tepat untuk memberikan pendidikan perawatan utnuk dirinya dan bayinya. Pada saat ini perawat mutlak memberikan semua tindakan keperawatan seperti halnya menghadapi kesiapan ibu menerima bayi, petunjuk-petunjuk yang harus diikuti tentang bagaimana cara mengungkapkan dan bagaimana mengaturnya. Perawat harus berhati-hati dalam memberikan instruksi dan tidak memaksakan kehendaknya sendiri.
Apabila klien merasa tidak mampu berbuat seperti yang diperbuat oleh perawat, maka perawat harus turun langsung membantu ibu dalam melaksanakan kegiatan / tugas yang nyata (setelah pemberian demonstrasi yang penting) dan memeberi pujian untuk setiap tindakan yang tepat.
Bila ibu sudah merasakan lebih nyaman, maka ibu sudah masuk dalam tahap ke- 2 “ maternal touch”, yaitu “total hand contact” dan akhirnya pada tahap ke- 3 yang disebut “ enfolding”. Dan periode ini berlangsung selama 10 hari.
“Letting Go”
Pada fase ini klien sudah mampu merawat dirinya sendiri dan mulai disibukan oleh tanggung jawabnya sebagai ibu. Secara umum fase ini terjadi ketika ibu kembali ke rumah.
Pada fase ini ibu mengalami 2 perpisahan, yaitu :
• Mengerti dan menerima bentuh fisik dari bayinya
• Melepaskan peran ibu sebelum memiliki anak, menjadi ibu yang merawat anak.
“Post partum Blues”
Pada fase ini , terjadi perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun, selain itu klien tidak siap dengan tugas-tugas yang harus dihadapinya. Post partum blues biasanya terjadi 6 minggu setelah melahirkan. Gejala yang tampak adalah menangis, mudah tersinggung, gangguan nafsu makan, gangguan pola tidur, dan cemas.
Bila keadaan ini berlangsung lebih dari 2 minggu dan klien tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan tugasnya, maka keadaan ini dapat menjadi serius yaitu keadaan post partum depresi.
II. Adaptasi Psikologis Ayah
Respon ayah pada masa sesudah klien melahirkan tergantung keterlibatanya selama proses persalinan, biasanya ayah akan merasa lelah, ingin selalu dekat dengan isteri dan anaknya, tetepi kadang-kadang terbentur dengan peraturan rumah sakit.
III. Adaptasi Psikologis Keluarga
Kehadiran bayi baru lahir dalam keluarga menimbulkan perubahan peran dan hubungan dalam keluarga tersebut, misalnya anak yang lebih besar menjadi kakak, orang tua menjadi kakek / nenek, suami dan isteri harus saling membagi perhatian. Bila banyak anggoata yang membantu merawat bayi, maka keadaan tidaklah sesulit dengan tidak ada yang membantu, sementara klien harus ikut aktif melibatkan diri dalam merawat bayi dan membantu rumah tangga.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bobak and Jansen (1984), Etential of Nursing. St. Louis : The CV Mosby Company
Hawkins, J.W. and Gorsine, B. (1985), Post Partum Nursing, New York: Springen
Nelson J.P. and May, K.A.(1986), Comprehensive Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Reeder,S.J. et al.(1983), Maternity Nursing, Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
A. PENGERTIAN
Asfiksia Neonatus adalah suatua keadaan bayi baru lahir yang tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 1989)
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998)
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000)
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2001)
Asfiksia lahir ditandai dengan hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan asidosis (penurunan PH).
B. JENIS ASFIKSIA
Ada dua macam jenis asfiksia, yaitu :
1. Asfiksia livida (biru)
2. Asfiksia pallida (putih)
Perbedaan asfiksia livida dan pallida ditunjukkan dalam tabel berikut ini
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna kulit
Tonus otot
Reaksi rangsangan
Bunyi jantung
Prognosis Pucat
Sudah berkurang
Negatif
Tidak teratur
Jelek Kebiru-biruan
Masih baik
Positif
Masih teratur
Lebih baik
C. KLSIFIKASI ASFIKSIA
AGAR SCORE
Score 0 1 2
A : Appearance
(warna kulit)
P : Pulse
(denyut nadi)
G : Grimace
(refleks)
1. Respon terhadap kateter dalam lubang hidung (dicoba setelah orofaring dibersihkan).
2. Tangensial foot siap
A : Activity
(tonus otot)
R : Respiration
(usaha bernafas) Biru, pucat
Tidak ada
Tidak ada respon
Tidak ada respon
Pincang
Tidak ada Badan merah muda
Ekstremitas biru
Lambat (dibawah 100 x/mnt)
Menyeringai
Menyeringai
Beberapa ekstremitas pincang
Tangisan lemah
Hipoventilasi Seluruhnya merah muda
Diatas 100 x/mnt
Batuk atau bersin
Menangis dan menarik kaki.
Fleksi dengan baik
Tangisan kuat
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
D. ETIOLOGI
Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2.
• Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
• Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uri.
• Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
• Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.
• Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
• Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
• Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
• Trauma dari luar seperti oleh tindakan forseps
• Trauma dari dalam : akibat obet bius.
Penyebab asfiksia Stright (2004)
1. Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes hioertensi ynag diinduksi oleh kehamilan, obat-obatan iinfeksi.
2. Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin abnormal.
3. Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi plasenta.
4. Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.
5. Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan kongenital, kesulitan kelahiran.
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
• Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
• Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
• Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.
F. PATOFISIOLOGI
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.
G. PATHWAY ASFIKSIA NEONATORUM
Http:// teguhsubianto.blogspot.com
H. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI YANG MUNCUL
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
I. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan asfiksia :
1. Pengaturan suhu
Segera setelah lahir, badan dan kepala neonatus hendaknya dikeringkan seluruhnya dengan kain kering dan hangat, dan diletakan telanjang di bawah alat/ lampu pemanas radiasi, atau pada tubuh Ibunya, bayi dan Ibu hendaknya diselimuti dengan baik, namun harus diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan pada tubuh bayi.
2. Lakukan tindakan A-B-C-D (Airway/ membersihkan jalan nafas, Breathing/ mengusahakan timbulnya pernafasan/ ventilasi, Circulation/ memperbaiki sirkulasi tubuh, Drug/ memberikan obat)
A. Memastikan saluran nafas terbuka
• Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi, bahu diganjal.
• Menghisap mulut, hidung dan trakhea.
• Bila perlu, masukkan pipa ET untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.
B. Memulai pernafasan
• Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.
• Memakai VTP bila perlu, seperti sungkup dan balon, pipa ET dan balon, mulut ke mulut (hindari paparan infeksi)
C. Mempertahankan sirkulasi darah
Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara :
• Kompresi dada
• Pengobatan
D. Pemberian obat-obatan
• Epineprin
Indikasi : diberikan apabila frekuensi jantung tetap di bawah 80 x/mnt walaupun telah diberikan paling sedikit 30 detik VTP adekuat dengan oksigen 100 % dan kompresi dada atau frekuensi jantung. Dosis 0,1 – 0,3 ml/kg untuk larutan 1:10000. Cara pemberian dapat melalui intravena (IV) atau melalui pipa endotrakheal.
Efek : Untuk meningkatkan kekuatan dan kecepatan konstraksi jantung
• Volume ekspander (darah/ whole blood, cairan albumin-salin 5%, Nacl, RL).
Indikasi : digunakan dalam resusitasi apabila terdapat kejadian atau diduga adanya kehilangan darah akut dengan tanda-tanda hipovolemi. Dosis 10 ml/ kg. Cara pemberian IV dengan kecepatan pemberian selama waktu 5-10 menit.
Efek : meningkatkan volume vaskuler, meningkatkan asidosis metabolik.
• Natrium Bikarbonat
Indikasi : digunakan apabila terdapat apneu yang lama yang tidak memberikan respon terhadap terapi lain. Diberikan apabila VTP sudah dilakukan.
Efek : memperbaiki asidosis metabolik dengan meningkatkan ph darah apabila ventilasi adekuat, menimbulkan penambahan volume disebabkan oleh cairan garam hipertonik.
• Nalakson hidroklorid/ narcan
Indikasi : depresi pernafasan yang berat atau riwayat pemberian narkotik pada Ibu dalam 4 jam sebelum persalinan.
Efek : antagonis narkotik.
ASUHAN KEPERWATAN
PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA
A. PENGKAJIAN
1. Sirkulasi
• Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).
• Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
• Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
• Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
2. Eliminasi
• Dapat berkemih saat lahir.
3. Makanan/ cairan
• Berat badan : 2500-4000 gram
• Panjang badan : 44-45 cm
• Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
4. Neurosensori
• Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
• Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma).
• Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
5. Pernafasan
• Skor APGAR : 1 menit……5 menit……. skor optimal harus antara 7-10.
• Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
• Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
6. Keamanan
• Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi).
• Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal)
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
• PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.
• Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.
• Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.
C. PRIORITAS KEPERAWATAN
• Meningkatkan upaya kardiovaskuler efektif.
• Memberikan lingkungan termonetral dan mempertahankan suhu tubuh.
• Mencegah cidera atau komplikasi.
• Meningkatkan kedekatan orang tua-bayi.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.
E. INTERVENSI
DP I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar.
NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.
2. Tidak menunjukkan cemas.
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
5. Tidak ada suara nafas tambahan.
NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas
Kriteria Hasil :
1. Mudah dalam bernafas.
2. Tidak menunjukkan kegelisahan.
3. Tidak adanya sianosis.
4. PaCO2 dalam batas normal.
5. PaO2 dalam batas normal.
6. Keseimbangan perfusi ventilasi
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Suction jalan nafas
Intevensi :
1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .
3. Beritahu keluarga tentang suction.
4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.
5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction.
NIC II : Resusitasi : Neonatus
1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan.
2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik.
3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi.
4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk menghisap mekonium.
5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas bawah.
6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi.
7. Monitor respirasi.
8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat.
DP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif.
NOC : Status respirasi : Ventilasi
Kriteria hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.
2. Ekspansi dada simetris.
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender.
2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.
3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu nafas
5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu.
6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.
DP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi.
NOC : Status respiratorius : Pertukaran gas
Kriteria hasil :
1. Tidak sesak nafas
2. Fungsi paru dalam batas normal
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC : Manajemen asam basa
Intervensi :
1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum.
2) Pantau saturasi O2 dengan oksimetri
3) Pantau hasil Analisa Gas Darah
DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah.
NOC : Pengetahuan : Keamanan Anak
Kriteria hasil :
1. Bebas dari cidera/ komplikasi.
2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.
3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.
Keterangan Skala :
1 : Tidak sama sekali
2 : Sedikit
3 : Agak
4 : Kadang
5 : Selalu
NIC : Kontrol Infeksi
Intervensi :
1. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi.
2. Pakai sarung tangan steril.
3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin terhadap bayi baru lahir, perhatikan pembuluh darah tali pusat dan adanya anomali.
4. Ajarkan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan melaporkannya pada pemberi pelayanan kesehatan.
5. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B dari vaksin hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen permukaan hepatitis B (Hbs Ag), antigen inti hepatitis B (Hbs Ag) atau antigen E (Hbe Ag).
DP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal.
NOC I : Termoregulasi : Neonatus
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.
2. Tidak terjadi distress pernafasan.
3. Tidak gelisah.
4. Perubahan warna kulit.
5. Bilirubin dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Perawatan Hipotermi
Intervensi :
1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat.
2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll.
3. Monitor temperatur dan warna kulit.
4. Monitor TTV.
5. Monitor adanya bradikardi.
6. Monitor status pernafasan.
NIC II : Temperatur Regulasi
Intervensi :
1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil.
2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat.
3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.
DP VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan koping keluarga adekuat.
NOC I : Koping keluarga
Kriteria Hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah.
2. Kestabilan prioritas.
3. Mempunyai rencana darurat.
4. Mengatur ulang cara perawatan.
Keterangan skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NOC II : Status Kesehatan Keluarga
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga.
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan.
3. Akses perawatan kesehatan.
4. Kesehatan fisik anggota keluarga.
Keterangan Skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Pemeliharaan proses keluarga
Intervensi :
1. Tentukan tipe proses keluarga.
2. Identifikasi efek pertukaran peran dalam proses keluarga.
3. Bantu anggota keluarga untuk menggunakan mekanisme support yang ada.
4. Bantu anggota keluarga untuk merencanakan strategi normal dalam segala situasi.
NIC II : Dukungan Keluarga
Intervensi :
1. Pastikan anggota keluarga bahwa pasien memperoleh perawat yang terbaik.
2. Tentukan prognosis beban psikologi dari keluarga.
3. Beri harapan realistik.
4. Identifikasi alam spiritual yang diberikan keluarga.
E. EVALUASI
DP I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
NOC I
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.(skala 3)
2. Tidak menunjukkan cemas.(skala 3)
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.(skala 3)
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.(skala 3)
5. Tidak ada suara nafas tambahan.(skala 3)
NOC II
Kriteria Hasil :
1. Mudah dalam bernafas.(skala 3)
2. Tidak menunjukkan kegelisahan.(skala 3)
3. Tidak adanya sianosis.(skala 3)
4. PaCO2 dalam batas normal.(skala 3)
5. PaO2 dalam batas normal.(skala 3)
DP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.
Kriteria hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.(skala 3)
2. Ekspansi dada simetris.(skala 3)
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.(skala 3)
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.(skala 3)
DP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
Kriteria hasil :
1. Tidak sesak nafas.(skala 3)
2. Fungsi paru dalam batas normal.(skala 3)
DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
1. Bebas dari cidera/ komplikasi.(skala 4)
2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.(skala 4)
3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.(skala 4)
DP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
NOC I
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.(skala 3)
2. Tidak terjadi distress pernafasan. (skala 3)
3. Tidak gelisah. (skala 3)
4. Perubahan warna kulit. (skala 3)
5. Bilirubin dalam batas normal. (skala 3)
NOC II
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga. (skala 3)
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. (skala 3)
3. Akses perawatan kesehatan. (skala 3)
4. Kesehatan fisik anggota keluarga. (skala 3)
DP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
NOC I
Kriteria Hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah. (skala 3)
2. Kestabilan prioritas. (skala 3)
3. Mempunyai rencana darurat. (skala 3)
4. Mengatur ulang cara perawatan. (skala 3)
NOC II
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga. (skala 3)
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan. (skala 3)
3. Akses perawatan kesehatan. (skala 3)
4. Kesehatan fisik anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Hassan, R dkk. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid 3. Jakarta : Informedika
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.
Santosa, B. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : Prima Medika.
Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Criteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC
Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta : EGC
Mochtar. R. 1989. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC
Saifudin. A. B. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Straight. B. R. 2004. Keperawatan Ibu Baru Lahir. Edisi 3. Jakarta : EGC
terdapat pada http: www. Freewebs.comasfiksia pola cidera asfiksia.htm (1 Juni 2008)
A.Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Rematoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.(Hidayat, 2006)
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.(www.medicastore.com)
2. Anatomi dan Fisiologi
Muskuloskeletal terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligament, tendon, fasia, bursae dan persendian.
a. Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada bagian intra-seluler. Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses “osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat menimbunya garam kalsium.
Fungsi tulang adalah sebagai berikut:
• Mendukung jaringan tubuh dan menbuntuk tubuh.
• Melindungi organ tubuh (jantung, otak, paru-paru) dan jaringan lunak.
• Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan )
• Membuat sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang (hema topoiesis).
• Menyimpan garam-garam mineral. Misalnya kalsium, fosfor.
Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya:
• Tulang panjang (femur, humerus ) terdiri dari satu batang dan dua epifisis. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat.epifisis dibentuk oleh spongi bone (Cacellous atau trabecular )
• Tulang pendek (carpalas) bentuknya tidak teratur dan cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
• Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri dari dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang cancellous.
• Tulang yang tidak beraturan (vertebra) sama seperti tulang pendek.
• Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persendian dan didukung oleh tendon danjaringan fasial,missal patella (kap lutut)
b. Otot
Otot dibagi dalam tiga kelompok, dengan fungsi utama untuk kontraksi dan untuk menghasilkan pergerakan dari bagian tubuh atau seluruh tubuh. Kelompok otot terdiri dari:
• Otot rangka (otot lurik) didapatkan pada system skeletal dan berfungsi untuk memberikan pengontrolan pergerakan, mempertahankan sikap dan menghasilkan panas
• Otot Viseral (otot polos) didapatkan pada saluran pencernaan, saluran perkemihan dan pembuluh darah. Dipengaruhi oleh sisten saraf otonom dan kontraksinya tidak dibawah control keinginan.
• Otot jantung didapatkan hanya pada jantung dan kontraksinya tidak dibawah control keinginan.
c. Kartilago
Kartilago terdiri dari serat-serat yang dilakukan pada gelatin yang kuat. Kartilago sangat kuat tapi fleksibel dan tidak bervascular. Nutrisi mencapai kesel-sel kartilago dengan proses difusi melalui gelatin dari kapiler-kapiler yang berada di perichondrium (fibros yang menutupi kartilago) atau sejumlah serat-serat kolagen didapatkan pada kartilago.
d. Ligament
Ligament adalah sekumpulan dari jaringan fibros yang tebal dimana merupakan ahir dari suatu otot dan dan berfungsi mengikat suatu tulang.
e. Tendon
Tendon adalah suatu perpanjangan dari pembungkus fibrous yang membungkus setiap otot dan berkaitan dengan periosteum jaringan penyambung yang mengelilingi tendon tertentu, khususnya pada pergelangan tangan dan tumit. Pembungkus ini dibatasi oleh membrane synofial yang memberikan lumbrikasi untuk memudahkan pergerakan tendon.
f. Fasia
Fasia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung dibawah kulit sebagai fasia supervisial atau sebagai pembungkus tebal, jaringan penyambung yang membungkus fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah.bagian ahair diketahui sebagai fasia dalam.
g. Bursae
Bursae adalah suatu kantong kecil dari jaringan penyambung dari suatu tempat, dimana digunakan diatas bagian yang bergerak, misalnya terjadi pada kulit dan tulang, antara tendon dan tulang antara otot. Bursae bertindak sebagai penampang antara bagian yang bergerak sepaerti pada olecranon bursae, terletak antara presesus dan kulit.
h. Persendian
Pergerakan tidak akan mungkin terjadi bila kelenturan dalam rangka tulang tidak ada. Kelenturan dimungkinkan karena adanya persendian, tatu letah dimana tulang berada bersama-sama. Bentuk dari persendian akan ditetapkan berdasarkan jumlah dan tipe pergerakan yang memungkinkan dan klasifikasi didasarkan pada jumlah pergerakan yang dilakukan.
Berdasarkan klasifikasinya terdapat 3 kelas utama persendian yaitu:
• Sendi synarthroses (sendi yang tidak bergerak)
• Sendi amphiartroses (sendi yang sedikit pergerakannya)
• Sendi diarthoses (sendi yang banyak pergerakannya)
Perubahan fisiologis pada proses menjadi tua
Ada jangka periode waktu tertentu dimana individu paling mudah mengalami perubahan musculoskeletal. Perubahan ini terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja karena pertumbuhan atau perkembangan yang cepat atau timbulnya terjadi pada usia tua. Perubahan struktur system muskuloskeletal dan fungsinya sangat bervariasi diantara individu selama proses menjadi tua.
Perubahan yang terjadi pada proses menjadi tua merupakan suatu kelanjutan dari kemunduran yang dimulai dari usia pertengahan. Jumlah total dari sel-sel bertumbuh berkurang akibat perubahan jaringan prnyambung, penurunan pada jumlah dan elasitas dari jaringan subkutan dan hilangnya serat otot, tonus dan kekuatan.
Perubahan fisiologis yang umum adalah:
• Adanya penurunan yang umum pada tinggi badan sekitar 6-10 cm. pada maturasi usia tua.
• Lebar bahu menurun.
• Fleksi terjadi pada lutut dan pangkal paha
3. Etiologi
Hingga kini penyebab Remotoid Artritis (RA) tidak diketahui, tetapi beberapa hipotesa menunjukan bahwa RA dipengaruhi oleh faktor-faktor :
a. Mekanisme IMUN ( Antigen-Antibody) seperti interaksi antara IGC dan faktor Rematoid
b. Gangguan Metabolisme
c. Genetik
d. Faktor lain : nutrisi dan faktor lingkungan (pekerjaan dan psikososial)
4. Patofisiologi
Cidera mikro vascular dan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium merupakan lesi paling dini pada sinovisis remotoid. Sifat trauma yang menimbulkan respon ini masih belum diketahui. Kemudian, tampak peningkatan jumlah sel yang membatasi dinding sinovium bersama sel mononukleus privaskular. Seiring dengan perkembangan proses sinovium edematosa dan menonjol kedalam rongga sendi sebagai tonjolan-tonjolon vilosa.
Pada penyakit Rematoid Artritis terdapat 3 stadium yaitu :
a. Stadium Sinovisis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat bergerak, bengkak dan kekakuan.
b. Stadium Destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
c. Stadium Deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
5. Tanda dan Gejala
Pasien-pasien dengan RA akan menunjukan tanda dan gejala seperti :
a. Nyeri persendian
b. Bengkak (Rheumatoid nodule)
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
d. Terbatasnya pergerakan
e. Sendi-sendi terasa panas
f. Demam (pireksia)
g. Anemia
h. Berat badan menurun
i. Kekuatan berkurang
j. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi
k. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
l. Pasien tampak anemik
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
a. Gerakan menjadi terbatas
b. Adanya nyeri tekan
c. Deformitas bertambah pembengkakan
d. Kelemahan
e. Depresi
Gejala Extraartikular :
a. pada jantung :
F Rheumatoid heard diseasure
F Valvula lesion (gangguan katub)
F Pericarditis
F Myocarditis
b. pada mata :
F Keratokonjungtivitis
F Scleritis
c. pada lympa : Lhymphadenopathy
d. pada thyroid : Lyphocytic thyroiditis
e. pada otot : Mycsitis
6. Pemeriksaan Diagnostik
• Faktor Reumatoid : positif pada 80-95% kasus.
• Fiksasi lateks: Positif pada 75 % dari kasus-kasus khas.
• Reaksi-reaksi aglutinasi : Positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas.
• LED : Umumnya meningkat pesat ( 80-100 mm/h) mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat
• Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi.
• SDP: Meningkat pada waktu timbul prosaes inflamasi.
JDL : umumnya menunjukkan anemia sedang.
• Ig ( Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR.
• Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
• Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium
• Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
• Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).
• Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
Kriteria diagnostik Artritis Reumatoid adalah terdapat poli- arthritis yang simetris yang mengenai sendi-sendi proksimal jari tangan dan kaki serta menetap sekurang-kurangnya 6 minggu atau lebih bila ditemukan nodul subkutan atau gambaran erosi peri-artikuler pada foto rontgen.
Kriteria Artritis rematoid menurut American Reumatism Association ( ARA ) adalah:
1. Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari ( Morning Stiffness ).
2. Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi.
3. Pembengkakan ( oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan ) pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
5. Pembengkakan sendi yanmg bersifat simetris.
6. Nodul subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor.
7. Gambaran foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid
8. Uji aglutinnasi faktor rheumatoid
9. Pengendapan cairan musin yang jelek
10. Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia
11. gambaran histologik yang khas pada nodul.
Berdasarkan kriteria ini maka disebut :
Klasik : bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu
Definitif : bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6 minggu.
Kemungkinan rheumatoid : bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 4 minggu.
7. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik pada pasien RA diantaranya :
a) Pendidikan : meliputi tentang pengertian, patofisiologi, penyebab, dan prognosis penyakit ini
b) Istirahat : karena pada RA ini disertai rasa lelah yang hebat
c) Latihan : pada saat pasien tidak merasa lelah atau inflamasi berkurang, ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sendi pasien
d) Termoterapi
e) Gizi yaitu dengan memberikan gizi yang tepat
f) Pemberian Obat-obatan :
• Anti Inflamasi non steroid (NSAID) contoh:aspirin yang diberikan pada dosis yang telah ditentukan.
• Obat-obat untuk Reumatoid Artitis :
• Acetyl salicylic acid, Cholyn salicylate (Analgetik, Antipyretik, Anty Inflamatory)
• Indomethacin/Indocin(Analgetik, Anti Inflamatori)
• Ibufropen/motrin (Analgetik, Anti Inflamatori)
• Tolmetin sodium/Tolectin(Analgetik Anti Inflamatori)
• Naproxsen/naprosin (Analgetik, Anti Inflamatori)
• Sulindac/Clinoril (Analgetik, Anti Inflamatori)
• Piroxicam/Feldene (Analgetik, Anti Inflamatori)
8. Komplikasi
a. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule
b. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot
c. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli
d. Terjadi splenomegali
Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan organ-organ lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya.
Pengkajian 11 Pola Gordon
1. Pola Persepsi Kesehatan- Pemeliharaan Kesehatan
• Apakah pernah mengalami sakit pada sendi-sendi?
• Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya?
• Riwayat keluarga dengan RA
• Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
• Riwayat infeksi virus, bakteri, parasit dll
2. Pola Nutrisi Metabolik
• Jenis, frekuensi, jumlah makanan yang dikonsumsi (makanan yang banyak mengandung pospor(zat kapur), vitamin dan protein)
• Riwayat gangguan metabolic
3. Pola Eliminasi
• Adakah gangguan pada saat BAB dan BAK?
4. Pola Aktivitas dan Latihan
• Kebiasaan aktivitas sehari-hari sebelum dan sesudah sakit
• Jenis aktivitas yang dilakukan
• Rasa sakit/nyeri pada saat melakukan aktivitas
• Tidak mampu melakukan aktifitas berat
5. Pola Istirahat dan Tidur
• Apakah ada gangguan tidur?
• Kebiasaan tidur sehari
• Terjadi kekakuan selama 1/2-1 jam setelah bangun tidur
• Adakah rasa nyeri pada saat istirahat dan tidur?
6.Pola Persepsi Kognitif
• Adakah nyeri sendi saat digerakan atau istirahat?
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
• Adakah perubahan pada bentuk tubuh (deformitas/kaku sendi)?
• Apakah pasien merasa malu dan minder dengan penyakitnya?
8. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
• Bagaimana hubungan dengan keluarga?
• Apakah ada perubahan peran pada klien?
9. Pola Reproduksi Seksualitas
• Adakah gangguan seksualitas?
10. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
• Adakah perasaan takut, cemas akan penyakit yang diderita?
11. Pola Sistem Kepercayaan
• Agama yang dianut?
• Adakah gangguan beribadah?
• Apakah klien menyerahkan sepenuhnya penyakitnya kepada Tuhan
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera, distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
Dapat dibuktikan oleh : Keluhan nyeri, ketidaknyamanan, kelelahan, berfokus pada diri sendiri, Perilaku distraksi/ respons autonomic
Perilaku yang bersifat hati-hati/ melindungi.
Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi pasien akan:
• Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol
• Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan.
• Mengikuti program farmakologis yang diresepkan
• Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program kontrol nyeri.
Intervensi dan Rasional :
a. Selidiki keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal (R/ Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan program)
b. Berikan matras/ kasur keras, bantal kecil,. Tinggikan linen tempat tidur sesuai kebutuhan (R/Matras yang lembut/ empuk, bantal yang besar akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi/nyeri)
c. Tempatkan/ pantau penggunaan bantl, karung pasir, gulungan trokhanter, bebat, brace. (R/ Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. Penggunaan brace dapat menurunkan nyeri dan dapat mengurangi kerusakan pada sendi)
d. Dorong untuk sering mengubah posisi,. Bantu untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan bawah, hindari gerakan yang menyentak. (R/ Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/ rasa sakit pada sendi)
e. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu bangun dan/atau pada waktu tidur. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi, dan sebagainya. (R/ Panas meningkatkan relaksasi otot, dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan)
f. Berikan masase yang lembut (R/meningkatkan relaksasi/ mengurangi nyeri)
g. Dorong penggunaan teknik manajemen stres, misalnya relaksasi progresif,sentuhan terapeutik, biofeed back, visualisasi, pedoman imajinasi, hypnosis diri, dan pengendalian napas. (R/ Meningkatkan relaksasi, memberikan rasa kontrol dan mungkin meningkatkan kemampuan koping)Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk situasi individu. (R/ Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan sehat)
h. Beri obat sebelum aktivitas/ latihan yang direncanakan sesuai petunjuk. (R/ Meningkatkan realaksasi, mengurangi tegangan otot/ spasme, memudahkan untuk ikut serta dalam terapi)
h. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk (mis:asetil salisilat) (R/ sebagai anti inflamasi dan efek analgesik ringan dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.)
i. Berikan kompres dingin jika dibutuhkan (R/ Rasa dingin dapat menghilangkan nyeri dan bengkak selama periode akut)
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal,
nyeri, penurunan kekuatan otot.
Dapat dibuktikan oleh : Keengganan untuk mencoba bergerak/ ketidakmampuan untuk dengan sendiri bergerak dalam lingkungan fisik.
Membatasi rentang gerak, ketidakseimbangan koordinasi, penurunan kekuatan otot/ kontrol dan massa ( tahap lanjut ).
Hasil yang diharapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan kontraktur.
• Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/ atau kompensasi bagian tubuh.
• Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas
Intervensi dan Rasional:
a. Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa sakit pada sendi (R/ Tingkat aktivitas/ latihan tergantung dari perkembangan/ resolusi dari peoses inflamasi)
b. Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat yang terus menerus dan tidur malam hari yang tidak terganmggu.(R/ Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit yang penting untuk mencegah kelelahan mempertahankan kekuatan)
c. Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, demikiqan juga latihan resistif dan isometris jika memungkinkan (R/ Mempertahankan/ meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum. Catatan : latihan tidak adekuat menimbulkan kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang berlebihan dapat merusak sendi)
d. Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personel cukup. Demonstrasikan/ bantu tehnik pemindahan dan penggunaan bantuan mobilitas, mis, trapeze (R/ Menghilangkan tekanan pada jaringan dan meningkatkan sirkulasi. Mempermudah perawatan diri dan kemandirian pasien. Tehnik pemindahan yang tepat dapat mencegah robekan abrasi kulit)
e. Posisikan dengan bantal, kantung pasir, gulungan trokanter, bebat, brace (R/ Meningkatkan stabilitas ( mengurangi resiko cidera ) dan memerptahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran tubuh, mengurangi kontraktor)
f. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah leher. (R/ Mencegah fleksi leher)
g. Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri, dan berjalan (R/ Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas)
h. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi, menggunakan pegangan tangga pada toilet, penggunaan kursi roda. (R/ Menghindari cidera akibat kecelakaan/ jatuh)
i. Kolaborasi: konsul dengan fisoterapi. (R/ Berguna dalam memformulasikan program latihan/ aktivitas yang berdasarkan pada kebutuhan individual dan dalam mengidentifikasikan alat)
j. Kolaborasi: Berikan matras busa/ pengubah tekanan. (R/ Menurunkan tekanan pada jaringan yang mudah pecah untuk mengurangi risiko imobilitas)
k. Kolaborasi: berikan obat-obatan sesuai indikasi (steroid). (R/ Mungkin dibutuhkan untuk menekan sistem inflamasi akut).
3. Gangguan Citra Tubuh / Perubahan Penampilan Peran berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.
Dapat dibuktikan oleh : Perubahan fungsi dari bagian-bagian yang sakit.
Bicara negatif tentang diri sendiri, fokus pada kekuatan masa lalu, dan penampilan.
Perubahan pada gaya hidup/ kemapuan fisik untuk melanjutkan peran, kehilangan pekerjaan, ketergantungan pada orang terdekat.
Perubahan pada keterlibatan sosial; rasa terisolasi.
Perasaan tidak berdaya, putus asa.
Hasil yang diharapkan / kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan pada gaya hidup, dan kemungkinan keterbatasan.
• Menyusun rencana realistis untuk masa depan.
Intervensi dan Rasional:.
a. Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa depan. (R/Berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/ kesalahan konsep dan menghadapinya secara langsung)
b. Diskusikan arti dari kehilangan/ perubahan pada pasien/orang terdekat. Memastikan bagaimana pandangaqn pribadi pasien dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari, termasuk aspek-aspek seksual. (R/Mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi persepsi diri dan interaksi dengan orang lain akan menentukan kebutuhan terhadap intervensi/ konseling lebih lanjut)
c. Diskusikan persepsi pasienmengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan. (R/ Isyarat verbal/non verbal orang terdekat dapat mempunyai pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya sendiri)
d. Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, ketergantungan. (R/ Nyeri konstan akan melelahkan, dan perasaan marah dan bermusuhan umum terjadi)
e. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu memperhatikan perubahan. (R/ Dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptive, membutuhkan intervensi lebih lanjut)
f. Susun batasan pada perilaku mal adaptif. Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping. (R/ Membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat meningkatkan perasaan harga diri)
g. Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas. (Meningkatkan perasaan harga diri, mendorong kemandirian, dan mendorong berpartisipasi dalam terapi)
h. Bantu dalam kebutuhan perawatan yang diperlukan.(R/ Mempertahankan penampilan yang dapat meningkatkan citra diri)
i. Berikan bantuan positif bila perlu. (R/ Memungkinkan pasien untuk merasa senang terhadap dirinya sendiri. Menguatkan perilaku positif. Meningkatkan rasa percaya diri)
j. Kolaborasi: Rujuk pada konseling psikiatri, mis: perawat spesialis psikiatri, psikolog. (R/ Pasien/orang terdekat mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang/ ketidakmampuan)
k. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk, mis; anti ansietas dan obat-obatan peningkat alam perasaan. (R/ Mungkin dibutuhkan pada sat munculnya depresi hebat sampai pasien mengembangkan kemapuan koping yang lebih efektif)
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
Dapat dibuktikan oleh : Ketidakmampuan untuk mengatur kegiatan sehari-hari.
Hasil yang diharapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual.
• Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
• Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Intervensi dan Rasional:
a. Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul awitan/ eksaserbasi penyakit dan potensial perubahan yang sekarang diantisipasi. (R/ Mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan saat ini).
b. Pertakhankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan. (R/ Mendukung kemandirian fisik/emosional)
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi /rencana untuk modifikasi lingkungan. (R/ Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian, yang akan meningkatkan harga diri)
d. Kolaborasi: Konsul dengan ahli terapi okupasi. (R/ Berguna untuk menentukan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan individual. Mis; memasang kancing, menggunakan alat bantu memakai sepatu, menggantungkan pegangan untuk mandi pancuran)
e. Kolaborasi: Atur evaluasi kesehatan di rumah sebelum pemulangan dengan evaluasi setelahnya. (R/ Mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi karena tingkat kemampuan aktual)
f. Kolaborasi : atur konsul dengan lembaga lainnya, mis: pelayanan perawatan rumah, ahli nutrisi. (R/ Mungkin membutuhkan berbagai bantuan tambahan untuk persiapan situasi di rumah)
5. Kebutuhan pembelajaran mengenai penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
Dapat dibuktikan oleh : Pertanyaan/ permintaan informasi, pernyataan kesalahan konsep.
Tidak tepat mengikuti instruksi/ terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Hasil yangdihapkan/ kriteria Evaluasi-Pasien akan :
• Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/ prognosis, perawatan.
• Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas dan atau pembatasan aktivitas.
Intervensi dan Rasional:.
a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan. (R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi)
b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet,obat-obatan, dan program diet seimbang, l;atihan dan istirahat.(R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi sendiri/ jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas)
c. Bantu dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang realistis,istirahat, perawatan pribadi, pemberian obat-obatan, terapi fisik, dan manajemen stres. (R/ Memberikan struktur dan mengurangi ansietas pada waktu menangani proses penyakit kronis kompleks)
d. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik. (R/ Keuntungan dari terapi obat-obatan tergantung pada ketepatan dosis)
e. Anjurkan mencerna obat-obatan dengan makanan, susu, atau antasida pada waktu tidur. (R/ Membatasi irigasi gaster, pengurangan nyeri pada HS akan meningkatkan tidur dan m,engurangi kekakuan di pagi hari)
f. Identifikasi efek samping obat-obatan yang merugikan, mis: tinitus, perdarahan gastrointestinal, dan ruam purpuruik. (R/ Memperpanjang dan memaksimalkan dosis aspirin dapat mengakibatkan takar lajak. Tinitus umumnya mengindikasikan kadar terapeutik darah yang tinggi)
g. Tekankan pentingnya membaca label produk dan mengurangi penggunaan obat-obat yang dijual bebas tanpa persetujuan dokter. (R/ Banyak produk mengandung salisilat tersembunyi yang dapat meningkatkan risiko takar layak obat/ efek samping yang berbahaya)
h. Tinjau pentingnya diet yang seimbang dengan makanan yang banyak mengandung vitamin, protein dan zat besi. (R/ Meningkatkan perasaan sehat umum dan perbaikan jaringan)
i. Dorong pasien obesitas untuk menurunkan berat badan dan berikan informasi penurunan berat badan sesuai kebutuhan. (R/ Pengurangan berat badan akan mengurangi tekanan pada sendi, terutama pinggul, lutut, pergelangan kaki, telapak kaki)
j. Berikan informasi mengenai alat bantu (R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan individu untuk ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan)
k. Diskusikan tekinik menghemat energi, mis: duduk daripada berdiri untuk mempersiapkan makanan dan mandi (R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri, dan kemandirian)
l. Dorong mempertahankan posisi tubuh yang benar baik pada sat istirahat maupun pada waktu melakukan aktivitas, misalnya menjaga agar sendi tetap meregang , tidak fleksi, menggunakan bebat untuk periode yang ditentukan, menempatkan tangan dekat pada pusat tubuh selama menggunakan, dan bergeser daripada mengangkat benda jika memungkinkan. ( R: mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari gaya hidup pasien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri ).
m. Tinjau perlunya inspeksi sering pada kulit dan perawatan kulit lainnya dibawah bebat, gips, alat penyokong. Tunjukkan pemberian bantalan yang tepat. ( R: mengurangi resiko iritasi/ kerusakan kulit )
n. Diskusikan pentingnya obat obatan lanjutan/ pemeriksaan laboratorium, mis: LED, Kadar salisilat, PT. ( R; Terapi obat obatan membutuhkan pengkajian/ perbaikan yang terus menerus untuk menjamin efek optimal dan mencegah takar lajak, efek samping yang berbahaya.
o. Berikan konseling seksual sesuai kebutuhan ( R: Informasi mengenai posisi-posisi yang berbeda dan tehnik atau pilihan lain untuk pemenuhan seksual mungkin dapat meningkatkan hubungan pribadi dan perasaan harga diri/ percaya diri.).
p. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis: yayasan arthritis ( bila ada). (R: bantuan/ dukungan dari oranmg lain untuk meningkatkan pemulihan maksimal).
Referensi :
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis MA (Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange, International Edition, Connecticut 2005, 729-32.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. 2002.
www.perawatblogger.com./asuhan_keperawatan_rheumatoid_artritis.html( di akses
07 Desember 2009 ).
www.askepnurse.blogspot.com/askep_rheumatoid_artritis.mht ( diakses tanggal 11 Desember 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar